Saat saya kelas 4 SD dulu, wali kelas mengatur saya untuk duduk dengan seorang teman lelaki bernama Ferry. Letak tempat duduk kami ada di baris keempat dari total 5 barisan. Si Ferry ini tipikal murid yang biasa saja, nggak menonjol dari segi akademis. Tampang nggak ganteng, kelakuan juga nggak terlalu kayak anak setan, nakalnya masih standar.
Ferry Si Arca Bernyawa
Jika kebanyakan murid mudah akrab setelah jadi teman sebangku, tidak demikian halnya dengan saya dan Ferry. Berbulan-bulan lamanya duduk bersama, hampir nggak pernah ada obrolan di antara kami. Ferry seperti asyik dengan dunianya sendiri, hati dan otaknya entah ke mana saat duduk bersama saya sepanjang hari. Ketika waktu istirahat tiba, dia asyik bermain dengan teman-teman akrabnya. Jika bel masuk kelas sudah berbunyi, maka kembalilah dia jadi arca yang bernapas tapi tergeletak kaku di samping kanan saya.
Posisi depan meja saya dan Ferry ditempati sepasang murid lainnya, Yashinta dan Marco. Mereka terbilang istimewa karena Yashinta menempati peringkat pertama di kelas, sedangkan Marco di posisi keempat. Saya cukup sering ngobrol dan bercanda dengan Yashinta dan Marco, tapi Ferry nggak. Seolah-olah kami bertiga ini benar-benar nggak cocok dengannya.
Oh iya,
Ferry baru mulai berinteraksi dengan kami sewaktu butuh contekan ulangan. Dia
mulai aktif kasak-kusuk dan berinteraksi bila berusaha mendapat bocoran jawaban
ulangan. Di luar hal itu, maka jangan harap ada banyak pembicaraan seru ala
teman sebangku.
Tapi rata-rata manusia memang begitu kan, ya. Baru kelihatan baik dan mau
menyapa kalau ada maunya.
Si Kembar yang Hobi Memukul
Kurang lebih enam bulan lamanya saya duduk bersama Ferry sebelum posisinya digantikan Doni. Teman sebangku saya yang baru itu punya kembaran di kelas, yaitu Deni. Si kembar ini sama-sama abusif, sering iseng memukul teman tanpa sebab, tapi Doni cenderung sedikit lebih parah daripada Deni. Maka tentu saja saya pun kerap nggak luput dari hantaman Doni. Kadang-kadang dia menyikut, menendang, atau menonjok badan saya saat bercanda, mengobrol, atau adu argumen.
Anehnya, saya merasa lebih nyambung dengan Doni daripada Ferry. Banyak candaan yang mengalir ketika kami ngobrol meskipun kebiasaan abusifnya nggak kunjung hilang. Interaksi kami dengan Yashinta dan Marco pun cukup seru. Selalu ada bahan obrolan yang bisa dibahas berempat lalu berujung tawa. Distribusi contekan pun berlangsung lebih lancar karena Doni sangat koperatif untuk bekerja sama. Oh, hidup jadi lebih berwarna sejak Bu Guru mengganti teman sebangku saya kala itu.
Berdasarkan pengalaman tersebut, sekarang saya sadar kalau setiap orang punya frekuensi yang berbeda-beda. Ada yang frekuensinya bisa selaras satu sama lain, ada juga yang nggak, tak peduli seberapa sering dua frekuensi berbeda itu berusaha disatukan.
Kadang kita merasa nggak cocok dengan orang lain, bukan karena kita yang jahat atau orang itu yang jahat, ya memang nggak cocok aja. Ada vibrasi dalam diri kita yang nggak pernah bisa serasi jika disandingkan dengan vibrasi orang itu. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa kecocokan nggak bisa dipaksakan.
Ada pula frekuensi yang awalnya selaras banget satu sama lain. Namun,
lama-kelamaan keselarasan itu musnah karena tergerus ego dan prinsip hidup yang
terlalu kaku. Apa pun yang sudah nggak cocok pada akhirnya nggak perlu
dipaksakan. Tak perlu mati-matian berusaha menyenangkan orang lain sebab pada
akhirnya kesamaan frekuensi yang akan punya andil besar kedekatan hati. Dan
satu lagi, kesamaan frekuensi belum tentu bertahan selama-lamanya. Bisa saja
sewaktu-waktu berubah karena dipengaruhi berbagai faktor. Yang dulu dekat
dengan kita seperti nadi, bukan mustahil nanti berubah jadi belati.
No comments