Dulu saya punya kebiasaan buruk yang nggak saya sadari, yaitu sering datang bertamu tiba-tiba ke rumah orang. Saya pikir kedatangan seperti itu menyenangkan karena saya merasa cukup akrab dengan orang yang saya kunjungi. Suatu ketika saat saya bertamu lagi, anggota keluarganya bilang bahwa orang yang saya cari sedang ada di rumah. Saya pun menunggu beberapa menit sambil ngobrol dengan sang anggota keluarga.
Tak berapa lama saya dengar ada suara orang sedang menyikat kamar mandi. Alih-alih langsung menemui saya, orang itu justru memilih menyikat kamar mandinya. Tampak sedikit raut nggak enak hati di wajah anggota keluarganya yang sedang menemani saya ngobrol. Saya tetap berusaha sabar menanti hingga kurang lebih setengah jam lamanya. Sesaat kemudian orang yang saya cari baru keluar. Gesturnya membuat saya memahami bahwa dia sedang ogah-ogahan menemui saya. Dia lantas menyetrika baju sambil menemani saya mengobrol tanpa kontak mata sama sekali.
Memang dasarnya saya ndableg, saya pun tetap meneruskan sesi obrolan itu meskipun nggak terlalu lama. Kurang lebih 20 menit lalu saya pun pamit. Sepulang dari tempat itu, saya menyempatkan diri mampir di coffee shop kecil di dekat halte TransJakarta sambil merenungkan perlakuan orang itu kepada saya. Sebenarnya dia nggak salah apa-apa, cuma saya aja yang ekspektasinya ketinggian. Untungnya sekarang orang itu sudah mati, jadi saya nggak pernah bertamu ke rumahnya lagi.
Beberapa tahun berlalu, kini saya makin sadar kalau memang nggak sepatutnya datang ke rumah orang tanpa aba-aba. Kita nggak pernah tahu bagaimana kondisi atau suasana hati orang. Bisa aja orangnya lagi sibuk, lagi nggak mood, malu karena rumahnya berantakan, atau alasan lainnya. Kita nggak berhak menuntut orang lain berperilaku sesuai keinginan kita. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan cuma membatasi ekspektasi. Dengan demikian, risiko sakit hati jadi makin kecil. Nggak ada satu pun yang bisa menyakiti kita kalau kita nggak memberi izin.
Pengalaman membuat saya kapok menjadi tamu tak diundang, kapok sekapok-kapoknya. Saya nggak mau jadi tamu dan nggak mau menerima tamu. Oleh sebab itu, saya memilih jadi tuan rumah yang nggak pernah membuka pintu. Sudah nggak ada energi untuk membuka pintu, apalagi beramah-tamah dengan tamu.
Tapi ini bukan tentang tamu.
No comments