Sejarah Roti Baso Tangerang

sejarah roti baso Tangerang

Alkisah zaman dahulu kala pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, ada seorang janda miskin yang tinggal berdua dengan anak semata wayangnya. Sang Ibu bernama Meyna dan si anak bernama Bunseng bermukim di Tangerang, tepatnya di sekitat Sungai Cisadane. Sejak suaminya meninggal beberapa tahun lalu, Meyna bekerja keras sebagai pembuat roti di toko salah seorang saudagar keturunan Cina.

Toko roti tersebut selalu ramai pembeli karena produknya disukai orang-orang Belanda. Produk yang jadi primadona adalah roti berukuran besar dengan isian daging cincang bercita rasa manis, sebutannya roti baso. Tekstur roti yang empuk dan dipanggang hingga matang sempurna berpadu dengan kelembutan daging babi yang dimasak dengan rempah-rempah. Sungguh cita rasa yang sempurna.

Bunseng yang sesekali bermain di sekitar toko roti tempat ibunya bekerja sering menatap roti baso dari luar toko. Ia takjub dan merasa tergiur ingin mencicipi roti yang tampak sangat lezat itu. Sayangnya, kesempatan menikmati roti baso tak pernah datang kepadanya. Harga roti itu sangat mahal. Tuan pemilik toko pun tak pernah satu kali pun memberikan roti baso untuk dibawa pulang ibunya.

Suatu hari, tak seperti biasanya Meyna pulang membawa banyak bahan-bahan roti. Ternyata sang majikan berencana pulang ke Cina selama kurang lebih satu bulan. Para karyawan toko roti diperbolehkan membawa bahan-bahan roti supaya toko jadi kosong. Nantinya, proses produksi akan dilanjutkan dengan bahan-bahan baru yang kesegarannya terjaga saat si majikan sudah kembali ke Tangerang.

Bunseng yang baru pulang bermain bola tertarik melihat dua kantong kertas besar bawaan ibunya. Seketika ia tersenyum sewaktu membuka dan melihat terigu di dalamnya. Jarang sekali sang ibu membawa pulang terigu dari toko, begitu pikirnya.

“Mamah tumbenan pulang bawa terigu? Berarti bisa bikin roti baso kayak yang di toko Koh Bentong ya, Mah?” Bunseng bertanya sambil terenyum ke arah ibunya.

Meyna tak langsung menjawab pertanyaan anaknya. Bunseng selama ini tak pernah minta apa-apa, maka tentu tak ada salahnya mengabulkan permintaan sederhana itu. Urusan membuat roti tentu perkara seujung jari bagi Meyna. Namun, roti itu jelas tak akan sempurna tanpa isian babi cincang kecap di dalamnya. Jangankan membeli daging babi segar untuk isian roti, bisa terus menyambung hidup sehari-hari saja sudah menjadi berkah bagi kehidupannya dan Bunseng. Beberapa saat setelah memutar otak, akhirnya Meyna menyanggupi keinginan Bunseng.

Tak lama kemudian, roti baso hangat sudah tersaji di meja makan. Aromanya sangat sedap hingga membuat Bunseng tak sabar ingin mencicipinya. Rasa roti dengan isian gula merah dan bawang goreng itu membuat mata Bunseng berbinar-binar lalu ia tersenyum lebar.

“Baru pertama kali oweh1 nyobain roti baso bikinan Mamah. Enak jasa2, Mah...”

Selama ini Bunseng memang belum pernah mendapat kesempatan mencicipi roti baso di toko tempat Meyna bekerja. Itulah sebabnya Bunseng menikmati roti baso buatan Meyna di rumah meskipun tidak diisi babi. Kelembutan roti yang berpadu dengan gula merah dan bawang goreng di dalamnya sudah cukup membuat Bunseng puas. Dua bahan isian itulah yang bisa Meyna gunakan karena hanya itu yang tersedia di rumah.

Sejarah roti baso Tangerang pun berawal dari ide Meyna dalam menyiasati ketiadaan babi. Bunseng memberi ide kepada ibunya untuk berjualan roti sendiri selama toko Koh Bentong tutup. Siapa sangka roti baso tanpa daging buatan Meyna nyatanya sangat disukai orang-orang di sekitarnya. Bahkan, Meyna pun mulai mendapatkan pesanan roti baso dalam jumlah banyak untuk hajatan besar. Selain enak, harganya pun lebih murah daripada roti baso isi babi sehingga terjangkau bagi orang sekitar yang kondisi ekonominya terbatas.

Akhirnya, Meyna memutuskan membuka usaha roti secara mandiri dan tak lagi menjadi pekerja di toko roti Koh Bentong. Roti baso dengan isian gula merah dan bawang goreng jadi makanan khas Tangerang yang digemari banyak orang hingga saat ini.

Asal Usul Roti Baso Tangerang

Cerita tentang sejarah roti baso Tangerang buatan Meyna tersebut memang tak dapat dipastikan kebenarannya karena saya cuma ngarang bebas. Saya ngide bikin cerita ini setelah ngalamin sendiri soal roti baso Tangerang yang isiannya bukan baso (daging), melainkan gula merah dan bawang goreng. Bukan cuma saya aja karena ternyata banyak juga orang di sekitar saya yang punya pengalaman sama. Mereka merasa kena prank.

Teman Ibu saya misalnya, dia teriak-teriak saat membelah roti bakso yang baru dibelinya sambil ngomong,

“Sialan woy si Rina, saya ditipu. Katanya roti baso, eh isiannya malah gula merah! Mana dagingnyaaa? mahal lagi, 18 ribu.”

Saat mendengar teman Ibu saya marah-marah sendirian, saya malah ketawa ngakak. Ada juga cerita lain dari tetangga saya. Dia ngajak anak perempuannya kondangan ke acara kenalannya yang orang Cina Benteng. Ketika jamuan berlangsung, si anak lantas tertarik setelah mendapat jawaban bahwa roti besar yang ada di depannya adalah roti baso. Sesaat setelah nyomot roti baso yang disajikan, si anak justru protes ke ibunya.

“Katanya baso, Mah? Mana dagingnya? Isinya gula doang.”

Selera itu memang bersifat subjektif. Kalau saya sih kurang cocok dengan rasa roti baso Tangerang. Bagian luarnya khas roti jadul yang teksturnya sedikit kasar dan keras. Isiannya pun buat saya kurang menarik. Dan ternyata di luar sana ada juga orang yang merasa kurang dapat menikmati cita rasa roti baso.

Polemik seputar isi roti baso Tangerang pernah dibahas sama salah seorang konten kreator TikTok. Katanya sih roti baso emang hasil perpaduan budaya Belanda dan Cina. Awalnya diisi babi, lalu kemudian bahan isiannya mulai berubah jadi ayam atau ebi seiring berjalannya waktu. Alasannya karena sebagian kerabat masyarakat Cina Benteng beragama Islam sehingga tidak diperbolehkan mengonsumsi babi.

Saat menyimak konten itu, saya dan beberapa netizen lainnya sempet nanya tuh ke si konten kreator. Kenapa roti baso Tangerang yang saya temui tuh isinya gula merah dan bawang goreng, bukan ayam atau ebi seperti yang dia sampaikan?

Pertanyaan saya dan beberapa orang lainnya bukan dijawab, eh malah cuma dikasih like. Selanjutnya, si konten kreator malah dagang dong ketika ada netizen yang nanya di mana bisa beli roti baso.

Saya orangnya skeptis dan nggak gampang puas, apalagi kalau nggak dapet jawaban logis. Nah, makanya saya iseng bikin karangan bebas seputar sejarah roti baso Tangerang ini buat hiburan sendiri aja agar rasa penasaran saya terjawab. Lagian menurut saya cerita ini lumayan masuk akal kalau ditinjau secara logika. Barangkali zaman dulu memang isian rotinya terdiri dari daging. Namun, karena daging terbilang mahal dan nggak semua orang leluasa membelinya, maka gula merah dan bawang goreng dijadikan alternatif isian.

asal usul roti baso Tangerang Cina Benteng

Intinya, kebenaran yang diyakini manusia sejatinya hanya opini saja. Setiap orang bebas meyakini kebenarannya masing-masing tapi nggak perlu ngotot memaksakannya kepada orang lain.

Bila Anda yang membaca tulisan ini tergolong penyuka roti baso Tangerang, ya silakan menikmatinya. Jika Anda yang membaca tulisan ini juga kurang menyukai roti baso Tangerang seperti saya, ya mari kita memilih makanan lain.

Hidup itu sesungguhnya simpel aja.

Kalau tidak suka ya tak perlu memaksakan diri untuk suka.

Kalau suka ya nikmati tanpa perlu memaksa orang lain menyukainya juga.

 

 1Oweh: sebutan laki-laki etnis Cina Benteng untuk dirinya sendiri ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

2Jasa: sekali atau banget.

No comments