Tanggal 29 November 2024 lalu ada kejadian seru nan goblok di grup WhatsApp lingkungan RT tempat tinggal saya. Cerita bermula di hari sebelumnya saat Pak RT menyatakan keresahan beberapa warga di gangnya tentang tai kucing liar. Keberadaan tai itu sudah sangat mengganggu kenyamanan karena muncul berkali-kali setiap hari di area dalam pagar rumah, jalanan, pot tanaman, hingga atas mobil.
Tragedi Tai Kucing
Perasaan terganggu dengan ulah kucing-kucing liar yang berak sembarangan nggak cuma dirasakan satu dua orang. Namun, ada satu warga baru yang berinisiatif melaporkannya kepada Pak RT. Sang warga baru bilang kalau dia sekeluarga sudah kehabisan ide mengatasi masalah tai kucing yang selalu mengganggu rumahnya.
Dia sudah menggunakan berbagai cara untuk mengusir kucing agar tidak berak di rumahnya, tapi hasilnya nihil. Baunya tentu nggak perlu dijelaskan lagi, apalagi teksturnya juga creamy, nggak kayak zat buangan kucing sehat pada umumnya. Si warga baru juga khawatir kalau-kalau kucing liar itu ada pemiliknya sehingga dia nggak berani ngambil tindakan frontal seperti menggebuk atau membuangnya jauh-jauh.
Sore itu pembahasan yang dibuka Pak RT masih berlangsung kondusif. Pak RT memberikan opsi bahwa sekiranya kucing-kucing liar tersebut dipindahkan dari lingkungan kami supaya nggak ada prahara tai kucing lagi. Selain itu, Pak RT juga mengimbau semua warganya agar nggak lagi memberi makan kucing liar karena hal itu bikin kawanan kucing makin betah berkeliaran di area kami.
Siapa sangka kericuhan malah terjadi keesokan harinya saat salah seorang warga senior yang pencinta kucing garis keras mulai bertingkah tolol di grup RT. Biar praktis, sebut aja dia Dadang. Si Dadang menyeracau panjang lebar, mengatakan kalau kucing liar nggak punya salah kalau berak sembarangan di lingkungan kami. Namanya juga hewan, nggak berakal, begitu katanya. Lalu dia bilang kalau kucing liar itu adalah hewan yang udah hidup berdampingan dengan kami sejak lama.
Pokoknya Dadang ngotot kalau kucing liar nggak boleh dipindahin, justru si warga baru yang harus maklum kalau dapat bonus berupa tai kucing setiap hari. Dia ngerasa nggak ada masalah dengan kucing liar karena selama ini warga lain nggak pernah protes seperti ini. Nggak lupa pula Dadang menyertakan kesimpulan goblok yang menyatakan kalau mau hidup bebas tai kucing berarti harus tinggal di kompleks perumahan mahal, di Pondok Indah, BSD, Gading Serpong, dan sebagainya.
Super Hero yang Sakit Jiwanya
Debat sengit antara Dadang dan warga baru yang sangat terganggu dengan tai kucing pun tak terhindarkan. Ibu saya yang berjiwa jahil malah japri beberapa warga lainnya, menyuruh warga lain yang juga terganggu dengan tai kucing untuk ikut komentar di grup. Tujuannya supaya si warga baru nggak terpojok sendirian dengan ocehan si pencinta kucing garis keras. Warga senior penggila kucing ini harus tahu bahwa urusan tai kucing liar emang nyebelin dan dialami banyak orang.
Debat kusir yang temanya bloon ini makin panas ketika ada seorang warga lain yang minta dimasukkan ke grup, sebut saja Keti. Jadi Keti ini pencinta hewan banget, hewan liar kayak kucing pun suka diurusin, dikasih makan, disteril. Keluarga Keti bukan tipe penyayang hewan sehingga Keti cuma piara satu anjing di rumah. Nggak kebayang sih kalau keluarga Keti punya hobi sama kayak dia, bisa-bisa rumahnya jadi pengayoman hewan.
Emang sih nggak ada yang salah dengan hobi merawat hewannya si Keti. Tapi kelakuan dia udah menjurus ke arah random dan kadang kala ngeganggu orang. Kalau udah nyalurin hewan buat diadopsi orang lain, dia mau mantau hewan itu setiap hari buat mastiin kalau hewan itu hidup dengan baik. Tindakan kayak gini lama-lama ngeganggu si pemilik hewan karena selalu merasa dicurigain dan dipantau.
Saya paham banget si Keti ini tiba-tiba masuk grup setelah denger kabar dari Nunung, si pencinta kucing garis keras juga yang pengecut. Nunung nggak berani bersuara soal kisruh tai kucing di grup RT, tapi dia nyodorin Keti yang gilanya lebih totalitas. Keti akhirnya menyodorkan diri buat bersihin semua tai yang berserakan di lingkungan asalkan kucing-kucing liar nggak dipindahin. Jadi dia bilang warga baru dan warga lainnya tinggal kabarin dia kalau ada tai kucing, maka dia dengan senang hati akan ngangkat tai itu.
Tampaknya udah nggak ada solusi lagi deh buat masalah yang satu ini. Warga baru akhirnya berterima kasih dengan Keti. Beberapa saat kemudian, si warga baru langsung dong nemu tai kucing di halaman rumahnya. Dia pun bergegas fotoin tai kucing itu, kirim ke grup, dan Keti bilang nanti dia akan bersihin kalau udah pulang kerja. Harusnya sih begitu seterusnya ya karena si Keti kan bilang dia mau tanggung jawab.
Kemelekatan Adalah Sumber Penderitaan yang Sering Luput dari Perhatian
Sampai sini saya sungguh nggak habis pikir dan makin yakin dengan prinsip yang beberapa waktu belakangan ini saya pahami. Bahwa cinta yang berlebihan itu tidak baik, terhadap apa pun dan siapa pun. Contohnya cinta sama hewan kayak kucing bikin sebagian orang nggak mampu lagi berpikir logis. Nggak ada tuh sedikit perasaan prihatin sama tetangga yang rumahnya diberakin kucing liar lebih dari satu kali sehari. Kalau nggak bisa kasih solusi, minimal diem juga udah bener banget.
Otaknya Dadang mungkin udah ketutupan tai kucing yang reaksinya serupa jatuh cinta sampai nggak nyadar kalau dia lagi bertetangga sama warga, bukan sama kucing liar. Cinta itu pula yang bikin Keti bertingkah gila sampai mau aja nyomotin tai asalkan kucing-kucing liar tetap dibiarkan berada di lingkungan kami. Lebih sintingnya lagi, Keti sempat nawarin opsi agar warga mau patungan biaya steril kucing-kucing liar itu.
Emangnya steril bakal bikin kucing nggak berak lagi, ya?
Kemelekatan dengan beragam hal di dunia ini bikin orang nggak bisa berpikir jernih. Celakanya lagi, orang yang nyuruh mereka berpikir jernih malah dianggap jahat, gila, atau bego. Bersyukur bangetlah kalau akhirnya kita bisa lepas dari kemelekatan lalu sadar kalau cinta yang berlebihan itu nggak baik.
Misalnya nih, kamu mengasihi seseorang ugal-ugalan. Di mata kamu dia paling baik, paling peduli sama kamu, paling segalanya. Eh, nggak taunya dia cuma orang toxic yang sering bawa masalah di lingkungannya, sejenis sampah masyarakat yang manipulatif sampai kamu bisa sayang banget sama dia.
Waktu dan energimu habis dicurahkan buat dia yang nyatanya sama sekali nggak peduli sama kamu. Dia cuma peduli sama dirinya sendiri. Sebenernya, dia emang cuma cinta dirinya sendiri. Ketika dia butuh dan nyariin kamu, kamu selalu ada buat dia. Tapi giliran suasana hatinya lagi nggak bagus, dia nyuekkin kamu seenaknya dan minta dimaklumi. Pendapat dia harus selalu didengar dan diikuti, tapi kamu sendiri jarang banget berpendapat karena takut melukai hatinya.
Keputusan terbaik adalah melepaskan diri dari kemelekatan dan cinta berlebihan terhadap apa pun di dunia ini. Mari simpan waktu dan energi lebih banyak untuk diri sendiri. Bukannya nggak boleh menyayangi siapa-siapa atau apa-apa, tapi semua mesti ada batasannya.
Buka mata lebar-lebar untuk melihat segala sesuatu dengan cara pandang lebih luas dari sebelumnya. Jika sudah berhasil lepas dari kemelekatan, sesekali menengoklah ke belakang untuk menyadari kebodohan yang sudah berhasil kita tinggalkan.
No comments