Orang Asing yang Oversharing

Orang Asing yang Oversharing

Disclaimer (penyangkalan): tulisan ini sama sekali tidak bertujuan menyudutkan profesi tertentu. Saya memang lagi pengen misuh-misuh aja berdasarkan pengalaman pribadi. Semua orang bisa saja punya kecenderungan oversharing tanpa berkaitan dengan profesi yang dijalaninya.

Mulut Perempuan yang Tak Bisa Diam

Kala itu, saya berada di lobi suatu rumah sakit sekitar jam 9 malam. Mencari ojek online pada kisaran waktu tersebut masih sangat mudah. Tak lama berselang, aplikasi saya terhubung dengan driver ojek online perempuan. Penampilannya menunjukkan kalau usianya hampir paruh baya. Duh, perasaan saya mulai nggak enak. Saya pikir driver perempuan pasti lebih banyak ngomong daripada driver laki-laki. Padahal, saya lagi nggak pengen diajak ngomong apalagi sampai ngobrol sama orang asing.

Tadinya saya mau cancel orderan ojek, tapi rasanya malas mencari lagi. Akhirnya, saya putuskan melanjutkan orderan. Beberapa detik setelah duduk di jok belakang motor, si ibu driver mulai bertanya.

“Kakak kerja di rumah sakit ini ya, Kak?”

“Oh, enggak kok, Bu. Saya...”

Usai mendengar kalimat jawaban saya, si ibu mulai berceloteh panjang lebar tentang dirinya. Soal kondisi kesehatannya, konsistensinya menjalani hidup sehat setelah kena diabetes, lutut kanannya yang kena radang sendi, bahkan sampai ke sepupunya yang hidup hedon dan bikin orang tua kesal sampai meninggal. Masih ada topik lain lagi, yaitu tentang anggota keluarganya, tentang bisnisnya yang bangkrut, soal anak-anaknya yang selalu membawa bekal makanan ketika sekolah. Bodo amat woy. Sumpah mati gue mah nggak peduli cuma sok iye ngedengerin lu ngoceh aja.

Ternyata, malam-malam panjang yang memuakkan bagi saya sedang dimulai. Saya berusaha menanggapi ocehan si ibu dengan kesan positif, tapi sebenarnya sudah sangat lelah. Alhasil, 90% percakapan kami hanya berkisar soal kehidupan si ibu. Suaranya yang nyaring dengan nada menggebu-gebu makin menguras sisa energi saya. Perjalanan pun melambat karena si ibu merasa menikmati obrolan dengan saya, meskipun saya justru sebaliknya. Barangkali ia sengaja memacu motornya dengan kecepatan lebih pelan agar bisa mengobrol lebih lama. Saya sungguh sial.

Saya melirik jam tangan sewaktu hampir sampai tujuan. Benar saja, saya tiba lebih lambat 15 menit dari biasanya. Ketika sampai di gerbang kompleks, saya bergegas turun dan menyerahkan uang tip ke tangannya. Kalau menuruti isi hati, tentu saja saya nggak mau ngasih uang tip karena waktu dan kenyamanan saya selama perjalanan pulang sudah sangat terganggu. Namun, bukankah hidup ini isinya hanya pencitraan dan kemunafikan saja?

Niscaya uang tip yang nggak seberapa itu bikin rating saya sebagai pengguna aplikasi ojek online tetap aman.

God Complex dalam Diri Lelaki Tua

Contoh orang asing oversharing yang mesti saya hadapi ternyata bukan cuma si ibu driver ojek online. Ada satu lagi yang lebih parah, bahkan menurut saya masuk kategori God Complex. Cari info sendiri ya soal istilah tersebut kalau mau tahu lebih banyak.

Masih dari rumah sakit yang sama di lain kesempatan, saya mencari taksi online via aplikasi dan langsung mendapatkannya. Saat itu kira-kira hampir jam 6 sore, langit masih terang. Saya pernah punya pengalaman agak nyasar dari lokasi tersebut ketika naik taksi online menuju kafe favorit saya. Berbekal pengalaman tersebut, saya berupaya memberi tahu arah jalan kepada sang sopir.

“Lewat jalanan mal X aja kali ya, Pak. Supaya lebih deket ke kafe A. Tinggal muter dikit.”

Respons si sopir tua bangka rupanya jauh dari dugaan saya. Dia setengah berteriak dengan nada ketus,

“Ngapain lewat X, malah tambah jauh, mana macet lagi. Lewat gang Y aja. Saya hapal jalannya. Saya kan tinggal di Tangerang dari tahun 70.”

Iya, Jing. Ngana udah bau tanah sih ya jadi berasa paling paham. Begitulah isi pikiran yang tentu saja tidak saya ucapkan, kemudian saya berkata,

“Oh, ya udah nggak apa-apa kalau Bapak tau jalannya. Saya pernah nyasar ke kafe X karena driver nggak tau jalan pintasnya, jadi malah muter-muter jauh.

Kelanjutan ceritanya tentu tak jauh berbeda dengan kisah si ibu ojek online. Obrolan ngalor-ngidul egosentrik pun dimulai. Si sopir bercerita tentang usianya yang sudah 70 tahun tapi masih sehat sehingga becus nyopir taksi online. Dia juga ngasih tau saya kalau istrinya berasal dari suku C, suatu info yang sama sekali nggak ada kontribusinya bagi kelangsungan hidup saya. Namun, sebagai manusia munafik tentu saja saya sok manis menanggapinya.

“Oh, istri bapak orang C, Berarti cantik dong, ya.”

“Cantiklah. Anak tunggal orang kaya. Bapaknya punya usaha bla bla bla. Cita-cita saya mau kuliah jadi ancur karena tiba-tiba malah kawin sama dia. Padahal tadinya saya nggak mau (kawin), saya dipaksa.”

Pret.

Cerita tentang kehidupan si bapak terus berlanjut tanpa ingin saya ketahui. Dia mengunggulkan dirinya yang (katanya) pintar ngatur uang. Kepintaran anak-anak pun menurun darinya karena sang istri jelas goblok. Kesialan demi kesialan beberapa hari ini nyatanya masih disertai sedikit keberuntungan. Untungnya, jarak tempuh dari rumah sakit ke kafe A sangat singkat, kurang lebih 1,5 km saja.

Betapa bahagianya saya ketika melihat tempat tujuan sudah di depan mata. Setelah menyerahkan uang tip, saya segera turun dan masuk ke kafe. Kuping sudah panas dan energi sudah terkuras hanya  dalam durasi singkat.

 

Ada ungkapan yang mengatakan kalau kita nggak bisa mengatur omongan dari mulut orang lain, tapi kita masih bisa menutup telinga sendiri. Sayangnya, ungkapan tersebut susah direalisasikan saat ketemu orang yang berpikir kalau dirinya adalah pusat dunia. Mereka nggak sadar kalau orang lain juga butuh waktu untuk tenang atau sekadar diam sejenak. Kita nanggepin dikiranya seneng ngobrol, kita nggak nanggepin dikiranya belagu.

Mayoritas manusia lain sama sekali nggak peduli dengan cerita hidup kita. Kadang-kadang keluarga, saudara, atau orang yang kita anggap sahabat aja cuek, apalagi orang lain yang sama sekali nggak ada hubungan apa pun sama kita. Teman terbaik adalah diri sendiri. Sebaiknya jangan membebani dan menguras energi orang lain dengan menuturkan hal-hal nggak bermanfaat bagi mereka.

 

No comments