Seorang wanita termangu-mangu di kamarnya yang luas dan indah. Sepertinya, ia seorang kaya dan terhormat. Lalu ia beranjak ke luar kamar, menyusuri rumah besarnya. Memang rumah yang indah, sayang suasananya sepi sekali. Mungkin pemakaman lebih ramai oleh para peziarah ketimbang rumah wanita itu. Apa mau dikata, Lady Nii Yoo, sang pemilik rumah itu memang tidak punya keturunan. Tak ingin terus-menerus hidup dalam kesepian, apalagi usianya juga sudah tidak muda lagi, Lady Nii Yoo berinisiatif mengangkat anak dari rumah yatim piatu. Tiga orang anak lelaki berumur sebelas tahun beruntung ia pilih untuk menjadi anak angkatnya. Masing-masing bernama Lan Dua, Swa Jow, dan Gow Sir.
Lan Dua dan Swa Jow barangkali memang anak-anak beruntung itu. Mereka mendapatkan pakaian bagus serta bersekolah di tempat terbaik. Sementara itu. Gow Sir yang tidak dapat melihat, menerima perlakuan yang sedikit berbeda dari ibu angkatnya. Ia tidak diizinkan menuntut ilmu karena mendapat tugas menjadi pelayan dan perawat Lady Nii Yoo yang sudah tua. Pakaiannya pun selalu usang dan kumal. Melihat nasib Gow Sir, kedua suadara angkatnya selalu mengejeknya.
“Tidak mengapa, toh ia tak dapat melihat”, kata Lan Dua dan Swa Jow sambil cekikikan.
Setiap saudara-saudara angkatnya iseng mengganggu, Gow Sir cuma diam dan tidak membantah. Percuma melayani kenakalan mereka; bukannya berhenti malah makin menjadi. Memang sudah begitu tabiat Lan Dua dan Swa Jow. Baik dan buruk, keduanya tetap saudara Gow Sir. Suka dan duka mesti selalu bersama. Meski Gow Sir mendapat kesempatan untuk membalas perlakuan saudara-saudaranya itu, ia memilih mengatakan tidak.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Gow Sir mengguncang-guncang tubuh Lan Dua agar cepat bangun.
“Cepat keluar! Gudang beras terbakar! Api sudah menyebar ke seluruh rumah,” seru Gow Sir panik.
“Di mana Swa Jow?” tanya Lan Dua.
“Ia sudah keluar,” jawab Gow Sir cepat.
Spontan Lan Dua melompat meninggalkan rumah. Ketika mau mengikuti Lan Dua untuk menyelamatkan nyawa, Gow Sir teringat pada Lady Nii Yoo, Ibu angkatnya tak bisa bergerak tanpa bantuan.
Apa jadinya kalau begitu saja ia tinggalkan?
Gow Sir segera berlari ke kamar sang ibu, yang sudah ia hafal jalannya. Benar dugaannya. Dari jauh terdengar suara Ibu meminta tolong.
“Ayo, kita keluar. Ibu, pandu aku.”
Dengan susah payah Gow Sir memapah Lady Nii Yoo di antara kepungan jago merah. Benar-benar susah payah, karena yang satu buta, sementara yang lainnya hanya bisa terseok-seok. Jarak yang sepenggal dari kamar ke luar rumah, rasanya seperti berkilo-kilo meter saja. Tapi, mereka berhasil juga keluar dari rumah.
Wajah dan tubuh Gow Sir hitam kena asap. Ia batuk-batuk dengan hebat mengeluarkan asap yang menyesakkan dadanya. Selama berjalan ke luar, ia terus membentengi Lady Nii Yoo dengan tubuhnya agar tidak terkena panas api. Kalau tubuh muda Gow Sir masih bisa menanggung rintangan seperti itu, jangan bandingkan dengan Lady Nii Yoo. Sampai di luar rumah, wanita itu langsung duduk dengan lunglai. Namun, wajahnya penuh senyum dan kasih sayang sembari melihat ke arah Gow Sir.
“Kau sunggu pemberani dan tidak memikirkan diri sendiri, Gow Sir. Akhirnya, aku menemukan prang yang pantas menerima mangkuk nasi bertuah ini,” kata Lady Nii Yoo lemah.
“Mangkuk nasi bertuah?” tanya Gow Sir bingung menerima benda itu dari tangan Lady Nii Yoo.
“Mangkuk ini akan mengabulkan setiap permintaan,” lanjut Lady Nii Yoo dengan napas tersengal-sengal.
“Mintalah satu hal dalam setahun. Dua tahun berikutnya, dua permintaan akan dikabulkan. Tiga tahun kemudian, mangkuk ini akan mengabulkan tiga permintaan, dan seterusnya. Namun, jika mangkuk pecah, semua permintaan yang sudah menjadi nyata di tahun-tahun sebelumnya akan lenyap bersama. Gunakanlah dengan bijaksana.”
Gow Sir masih berusaha mencerna semua penjelasan ibu angkatnya, tatkala Lady Nii Yoo mengembuskan napas terakhir. Ia sedih sekali ketika bersama Lan Dua dan Swa Jow memakamkan ibu mereka ini. Meski tak ikut merasakan kemewahan yang dimiliki Lady Nii Yoo, Gow Sir sudah merasa senang karena pada akhirnya punya ibu lagi. Bagi pemuda yang baik hati itu, kasih sayang Lady Nii Yoo lebih berharga daripada baju mahal atau makanan lezat.
“Andai saja mataku tidak buta, tentu aku bisa melihat wajahnya. Akan aku kenang selalu dalam hidupku.”
Ajaib! Seketika itu Gow Sir dapat melihat. Ia sangat gembira. Dunia yang terlihat terang benderang itu, menjanjikan banyak kemudahan, dan masa depan lebih cerah. Gow Sir segera mendaftar sekolah, bekerja di sebuah toko untuk menghidupi dirinya, dan mulai membangun sebuah rumah.
Orang-orang di desa menduga panasnya api dan asap yang melalap rumah Lady Nii Yoo yang membuat pemuda itu dapat melihat. Namun, Lan Dua dan Swa Jow tidak percaya begitu saja. Mereka mendesak Gow Sir untuk memberi tahu, apa sebenarnya rahasia di balik mukjizat itu.
Tak membutuhkan waktu lama untuk membuat Gow Sir bercerita tentang mangkuk nasi pemberian mendiang ibu angkat mereka. Jelas saja kedua saudara Gow Sir itu, bersikeras untuk mendapat bagian.
“Baiklah,” kata Gow Sir sambil mengeluarkan mangkuk nasinya.
“Apa yang kalian inginkan?”
“Sebuah rumah yang penuh dengan makanan, sehingga kami dapat mengisi perut kapan saja,” jawab Lan Dua spontan.
“Sungguh menyenangkan. Jika kami dapat memperoleh nilai bagus tanpa perlu capek-capek belajar,” tambah Swa.
Lagi-lagi keajaiban terjadi. Sebuah rumah yang megah, sekonyong-konyong menjulang, tak jauh dari kediaman Lady Nii Yoo dahulu. Mata Lan Dua dan Swa Jow terbelalak melihat gudang, dapur, dan meja makan di dalam rumah itu, sarat oleh makanan. Keduanya dengan suka cita mencicipi semua makanan. Mereka takjub ketika melihat makanan yang sudah dilahap, muncul berlipat-lipat lagi. Lan Dua dan Swa Jow semakin kesenangan saat berhasil memecahkan soal-soal hitungan dengan sangat mudah.
“Luar biasa!” seru kedua pemuda itu. “Sekarang, kita tak akan kelaparan, apalagi susah payah belajar, atau bekerja!”
Sementara kedua saudaranya bermalas-malasan, Gow Sir memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar. Ia melalap semua buku pengetahuan, merenungi semua kitab, mengupas setiap detail ajaran para guru, dan mengingat banyak hal baru. Semua itu Gow Sir lakukan dengan semangat menggebu-gebu. Setelah bertahun-tahun terkurung dalam kegelapan, ia seperti lepas dari sangkar, dan bebas melanglang buana ke benua ilmu. Satu tahun pun berlalu tanpa terasa. Tiba saatnya bagi ketiga bersaudara itu untuk mengucapkan permintaan berikut.
Lan Dua ingin sebuah rumah di tepi sungai, dan lemari berisi emas yang banyak. Sementara itu, Swa Jow yang tak mau kalah, meminta rumah yang lebih besar di atas bukit, dan dua lemari berisi emas. Melihat kemewahan yang diminta kedua anak itu, tak salah kalau mereka jadi melongo ketika mengetahui Gow Sir hanya meminta sebuah perpustakaan pribadi yang penuh buku untuk menyibukkannnya selama tiga tahun. Bayangkan, membaca buku selama tiga tahun berturut-turut. Gow Sir benar-benar kehausan ilmu.
“Untuk apa kau minta buku sebanyak itu? Kau tidak dapat memakannya atau membeli apa-apa dengan barang yang membosankan itu,” tukas Lan Dua.
Gow Sir tidak menjawab. Ia tidak peduli saudaranya mau mencela seperti apa. Pilihannya tidak mencederai orang lain, jadi mengapa harus ambil pusing?
Lebih daripada itu, ia bisa melakukan banyak hal yang paling disukainya, membaca sambil tetap bersekolah dan bekerja di toko. Begitulah, lagi-lagi seperti bumi dan langit bila melihat kehidupan tiga orang yang telah disatukan menjadi saudara itu. Sementara Gow Sir belajar dan bekerja, kedua saudara angkatnya tetap saja bersenang-senang dan bermalas-malasan dengan apa yang mereka miliki.
Tepat ketika mencapai umur tujuh belas tahun, Lan Dua dan Swa Jow mendatangi rumah Gow Sir untuk mengajukan permintaan selanjutnya. Seperti biasa, mereka sudah menyiapkan permintaan yang lebih dahsyat dan pasti menjamin kehidupan, dalam kenyamanan yang luar biasa.
“Aku ingin sebuah istana untuk menggantikan rumahku sekarang ini. Di dalamnya, mesti terdapat satu ruangan penuh emas. Aku juga minta seorang istri cantik dan santun yang memberiku banyak putra sehat nan kuat. Jangan lupa pula, sebuah gelar untukku. Aku ingin menjadi seorang gubernur yang paling pandai dan paling berhasil.” sumbar Lan Dua.
“Aku mau sebuah istana yang lebih besar dari milik Lan Dua, serta wanita tercantik dan tersantun sebagai ibu anak-anakku yang gagah perkasa. Tempatkan pula aku dalam status terhormat di masyarakat sebagai seorang saudagar.” seru Swa Jow tak mau kalah.
Kali ini rupanya Gow Sir tak mau kalah dengan kedua saudaranya. Tanpa ragu-ragu ia minta buku lebih banyak lagi untuk menggantikan buku yang sudah dibacanya selama ini. Dan, tanpa sungkan pula, kembali Lan Dua dan Swa Jow menertawakannya. Tak mengapa, karena setelah bekerja keras dan tekun belajar, Gow Sir berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru. Ia pun telah menikah dengan putri pemilik toko tempatnya bekerja. Lengkap sudah hidup Gow Sir.
Tepat di usia dua puluh, ketiga pemuda itu berkumpul lagi. Swa Jow dan Lan Dua telah memiliki dua orang putra. Mereka kelihatan bahagia dan makmur. Mestinya, mereka tak membutuhkan barang-barang duniawi lagi.
“Mintalah dengan bijak,” anjur Gow Sir.
“Aku ingin MEMILIKI mangkuk nasi itu untukku SENDIRI!” seru Lan Dua tak menggubris anjuran Gow Sir.
“Tidak! Aku ingin mangkuk nasi itu, HANYA UNTUKKU” cepat-cepat Swa Jow merebut mangkuk itu dari tangan Gow Sir.
Tak ayal kedua lelaki muda itu pun berkelahi. Mangkuk nasi berpindah dari satu tangan ke tangan lain dengan cepat. Mereka mencakar, menendang, memukul, bahkan menggigit satu sama lain demi mendapatkan mangkuk nasi ajaib itu. Dua laki-laki yang sama kuatnya itu terus bergelut, tak ingat sedang berhadapan dengan saudara sendiri. Keduanya mengerahkan segenap tenaga untuk menarik mangkuk ke arahnya, sambil terus menyerang satu sama lain. Akhirnya, mangkuk nasi yang diperebutkan itu terempas ke lantai, dan pecah berkeping-keping.
“Apa yang kalian perbuat?” pekik Gow Sir.
“Aku tak dapat melihat... aku buta kembali.”
Seiring dengan retakan pertama pada mangkuk itu, permintaan yang telah terwujud sejak sembilan tahun silam, sirna sudah. Penglihatan Gow Sir diambil kembali, juga buku-bukunya. Lan Dua dan Swa Jow lantas bergegas menuju istana mereka. Namun, yang tertinggal hanya rumput dan bunga liar yang terhampar di tanah. Kedudukan prestisius dalam masyarakat pun tinggal cerita. Bahkan yang lebih miris, mereka tak mampu menulis dan membaca. Beruntung bagi Gow Sir, meski tak lagi dapat melihat, ia masih bisa tetap bekerja sebagai guru. Hal ini sungguh melukai Lan Dua dan Swa Jow yang sekarang benar-benar papa.
“Kau telah kehilangan buku-bukumu.” Protes Swa Jow dan Lan Dua.
“Mengapa hidupmu tidak berubah?”
“Buku-buku itu memang diberikan oleh mangkuk nasi bertuah, begitu juga penglihatanku. Semuanya telah lenyap, tetapi pengetahuan dari buku bacaan, bahkan istriku, adalah buah dari usahaku sendiri. Aku tidak memintanya pada mangkuk nasi itu. Apa yang menjadi milikku sekarang, tentu tetap menjadi milikku,” terang Gow Sir.
Lan Dua dan Swa Jow merasa malu atas keserakahan mereka. Keduanya harus menjadi siswa paling tua di sekolah. Untung pelajaran hidup yang sangat berharga itu telah menyadarkan mereka. Kesadaran dan permakluman, kalau mereka pantas mendapatkan pencerahan yang cukup menyentil. Permakluman yang sama ketika melihat saudara mereka, Guru Gow Sir, makin termasyhur sebagai pendidik paling bijak. Guru yang tak pernah ingkar, dari titik nol mana ia berangkat. Di meja sang guru, tergeletak dengan setia sebuah mangkuk nasi, yang sebisa mungkin direkatkan keping demi keping. Itulah mangkuk nasi peninggalan mendiang ibu mereka, Lady Nii Yoo.
Sumber:
Rinurbad. 2011. 101 Cerita Bijak dari Korea (Symphony of Life from The Land of Morning Calm). Yogyakarta: Gradien Mediatama.
No comments