Debu kuning mulai menyelimuti semenanjung Korea di musim semi. Dari Gurun Gobi di China, yellow pi dust ini terbawa angin sampai ke Korea, hingga menimbulkan badai pasir kuning. Itu baru satu kepahitan yang terjadi di musim semi. Kesedihan kembali menyeruak ketika topan membombardir bumi Korea pada musim panas.
Pada awal musim ini, suhu memang makin memanas, namun tetap menyisakan periode khusus untuk hujan di seluruh bagian semenanjung, jangma cheol. Mau bilang apa lagi, kalau kemudian banjir tiba-tiba melanda bumi tanpa permisi. Selain memberikan keindahan dan memenuhi kebutuhan manusia, alam juga mempunyai sifat menghancurkan. Itu kalau manusia memilih lupa untuk merawatnya.
Desa itu adalah tempat yang permai; sawah menghijau, udara sejuk, dan air berlimpah. Tapi, itu dulu. Air yang berlimpah itu terus membeludak akibat hujan deras berhari-hari. Tak kuat menampung air yang terlalu berlimpah, bendungan pun jebol. Banjir bandang melanda desa tanpa ampun.
Rumah-rumah tak berdaya melawan terpaan air, pohon yang segelintir pasrah tumbang ke tanah, hewan piaraan tampak timbul tenggelam dipermainkan gelombang. Meski melalap korban tak terhitung, banjir itu masih berbelas kasihan pada seorang laki-laki tua. Dengan perahu kecilnya, kakek itu terombang-ambing ke sana ke mari. Sebisa mungkin ia mendayung untuk mencari daratan. Tak mungkin selamanya bisa bertahan hidup terus di atas perahu.
Sang banjir rupanya tak salah memilih orang. Kakek itu bisa saja pergi menyelamatkan diri, tapi itu tidak ia lakukan. Kakek yang baik hati itu tidak tega melihat makhluk lain celaka. Waktu melihat seorang anak kecil terseret air, ia naikkan ke perahu. Begitu pula ketika seekor rusa hanyut ke arahnya, kakek itu segera menariknya. Saat mendapati seekor ular yang luka. Si laki-laki tua sempat ragu-ragu. Bila ular itu menyerang, ia tidak bisa lari ke mana-mana. Namun, karena iba, ditolongnya juga hewan itu.
Setelah berhari-hari terlunta-lunta di atas perahu, akhirnya mereka mendapati tanah yang kering. Kakek itu kemudian melepas rusa dan ular. Ketika sampai pada anak kecil itu, si kakek jadi bingung sendiri. Hendak dilepas ke mana anak itu?
“Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” isak si anak.
“Aku tidak tahu harus ke mana.”
Hati kakek tersentuh. Ia mengajak anak itu hidup bersamanya. Kakek ini bahkan membesarkannya seperti anak sendiri. Mereka membangun hidup baru setelah banjir meluluhlantakkan semuanya, keluarga juga harta benda. Di tanah kering tak bertuan itu, kakek kemudian membangun gubuk, dan menanami pekarangan dengan sayur-sayuran. Kadang, kakek pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, yang kemudian ia jual ke desa. Hasilnya lumayan untuk menghidupi mereka berdua.
Meski hidup dalam kekurangan, kakek dan putra angkatnya tetap bahagia. Sang putra tumbuh menjadi laki-laki yang cerdas dan baik hati, seperti kakek. Hari-hari mereka selalu dipenuhi tawa, karena jiwa bersahaja tak pernah hengkang dari hati masing-masing. Tapi, dalam setiap cerita hidup, masa-masa bahagia pasti sempat mengalami pasang surut.
Semua bermula ketika rusa yang pernah diselamatkan kakek muncul di sekitar rumah. Rusa itu menandak-nandak dan melompat-lompat mencari perhatian kakek. Ketika kakek mendekati hewan tang dianggap makhluk suci oleh rakyat Kerajaan Silla di Korea itu, si rusa langsung menyongsong kedatangan penyelamatnya. Ia menarik-narik lengan baju kakek, seperti mau mengajak ke suatu tempat.
Kakek hanya melihat dengan bingung, sebenarnya apa yang dikehendaki rusa itu. Rusa makin bersemangat, ia bahkan mendorong kakek agar ikut dengannya. Kakek menyerah, mengikuti saja si rusa, seperti kerbau dicocok hidungnya.
Setelah sampai di sebuah gunung, rusa itu menuntunnya ke sebuah gua. Amboi, rupanya si rusa telah menemukan harta karun. Di gua itu ada sebuah kotak penuh emas dan perak. Rusa mengambil salah satu perhiasan dengan mulutnya, kemudian meletakkannya di kaki kakek. Ia ingin kakek membawa semua harta benda itu. Inilah bentuk balas budi rusa atas kebaikan hati kakek yang dulu telah menyelamatkannya dari kebinasaan. Masih dengan takjub dan setengah tak percaya, kakek menuruti rusa agar membawa benda-benda indah itu pulang.
Laki-laki tua itu kemudian membeli rumah yang bagus, serta banyak sawah dan ladang. Mereka kini tak perlu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan harga sebanyak itu, putranya bisa menikmati pendidikan yang lebih layak. Sayang, itu semua tak berlangsung lama. Sikap putra angkatnya sungguh mengecewakan. Begitu kehidupan mereka berubah, anak yang cerdas itu menjadi egois dan boros. Ia menghambur-hamburkan uang, seolah tinggal memetiknya dari pohon. Kerjanya hanya bermalas-malasan, dan bergaul dengan pemuda berandalan yang semakin memberi pengaruh buruk.
Risau memikirkan masa depan putra angkatnya, si kakek mencoba menasihatinya. Sayang, jangankan didengarkan dan diperhatikan, putra kesayangan kakek itu malah menyebarkan berita tidak sedap. Ia mengatakan pada orang-orang di desa bahwa harta ayah angkatnya bukanlah dari gua yang ditunjukkan rusa. Semua itu hanya cerita karangan dari ayah untuk menutupi kejahatannya, mencuri dari para korban banjir dulu. Ah, tega sekali pemuda itu memfitnah orang yang telah menyelamatkan nyawanya.
Kabar itu segera menyebar dengan cepat. Ketika seorang pembesar setempat mendengarnya, kakek segera ditangkap. Ketika diinterogasi tentang pencurian itu, kakek jelas bersikukuh bahwa hartanya bukan dari hasil kejahatan. Namun, sang pembesar tidak percaya, apalagi informasi yang sampai kepadanya berasal dari anak angkat laki-laki tua itu sendiri. Kakek itu tetap dijebloskan ke penjara. Sungguh malang nasib si kakek. Di umur yang tak lagi muda, harus merasakan sesaknya dibui, dan menunggu tanpa kepastian vonis dari pengadilan.
Lak-laki tua itu merenungi nasibnya dengan duka pekat. Setiap hari ia menangis, pilu sekali rasanya dikhianati anak sendiri. Ketika sedang meratapi nasib tak beruntung itu, tiba-tiba rasa sakit luar biasa menjalar ke pergelangan kakinya. Belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, seekor ular terlihat menyelinap ke luar dari sel. Ular itu telah menggigitnya!
Si kakek lebih terkejut lagi ketika mengenali ular. Itu hewan melata yang pernah ia tolong waktu banjir dulu.
“Binatang tak tahu diuntung!” air mata kakek membanjir. Dengan hati membara ia menekan luka di pergelangan kakinya keras-keras.
“Kau sama saja dengan anak itu. Seharusnya, aku biarkan saja kalian hanyut.”
Sekonyong-konyong, ular tadi muncul lagi dengan sehelai daun kehijauan di mulutnya. Ia meletakkan daun itu di bekas gigitan, lalu menghilang. Tak lama kemudian, luka dan bengkak di pergelangan kaki si kakek berangsur sembuh. Kakek itu tertegun, tak mengerti apa yang tengah dilakukan ular itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar. Orang berlarian ke sana ke mari. Para penjaga tergopoh-gopoh keluar masuk tahanan. Wajah mereka terlihat cemas. Dari percakapan antar penjaga itu, sepertinya telah terjadi kecelakaan yang menimpa istri pembesar. Nyonya itu digigit ular, dan sekarang kondisinya cukup parah. Ada-ada saja, belum ada satu jam kakek digigit ular, sekarang sudah ada korban lagi. Si kakek segera memahami apa yang terjadi.
“Biarkan aku menolong Nyonya. Aku tahu obatnya!” seru kakek itu.
Penjaga penjara menatapnya sangsi. “Kau bukan tabib, kan?”
“Memang bukan, tapi aku punya obat yang manjur untuk Nyonya,” kata kakek mencoba meyakinkan penjaga.
Tentu saja obat yang sama dari si ular. Ternyata ular itu punya rencana tertentu dengan menggigit kakinya. Penjaga penjara terdiam sejenak.
“Baiklah kalau begitu, sudah tak ada waktu lagi.”
Penjaga kemudian membawa si kakek masuk ke kediaman sang pembesar. Di sebuah kamar, istri pembesar itu mengerang-erang di pembaringan. Ia terlihat sangat menderita. Pembesar itu memegang tangan istrinya dengan tatapan duka. Ia merasa lemah, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong belahan jiwanya itu.
Ketika si kakek datang dan mengatakan ia punya obat untuk istrinya, pembesar itu hanya menatapnya jalang. Apa yang bisa dilakukan pencuri tua ini?
Bagaimana jika ia nanti malah mencelakai istrinya?
Tapi, kondisi sang istri makin kritis. Apa lagi daya yang bisa ia kerahkan. Akhirnya, si pembesar hanya bisa pasrah melihat kakek itu meletakkan daun hijau pemberian ular ke atas luka istrinya. Keajaiban yang sama pun terjadi. Wajah istri pembesar itu makin memerah, tanda-tanda kehidupan. Apalagi ketika senyum mulai merekah di bibirnya. Istrinya selamat!
Pembesar itu keheranan. “Dari mana kau memperoleh daun itu, Pak Tua?”
Dengan jujur, kakek kemudian menceritakan segalanya dari awal. Ketika ia menolong seorang anak lelaki beserta seekor rusa dan ular sewaktu banjir. Bagaimana ia dengan senang hati merawat si anak, sampai pertemuannya kembali dengan rusa dan ular.
“Bahkan binatang saja tahu membalas budi,” tukas pembesar itu geram mendengar cerita itu.
“Sungguh keterlaluan anak angkatmu itu. Ia telah menyebarkan dusta.”
Si pembesar kemudian memerintahkan pengawal untuk menangkap anak angkat durhaka itu. Sementara si kakek yang sudah cukup menderita, segera dibebaskan dari bui. Tak cukup membebaskan saja, pembesar itu bahkan memberi banyak sekali hadiah untuk kakek.
“Tuan, terima kasih banyak,” ucap si kakek terbata-bata.
“Namun, jika saya boleh memohon…”
Kakek terdiam ragu.
“Katakan saja, aku pasti akan mengabulkannya,” ujar si pembesar.
“…mohon lepaskan putra angkat saya, Tuan.”
“Apa? Melepaskan anak itu? Mengapa? Bukankah ia telah menyakiti hatimu, bahkan mencelakakanmu?” tanya pembesar itu keheranan.
“Semua orang tidak luput dari kekeliruan, Tuan. Saya yakin ia akan sadar. Biar bagaimana pun, saya menyayanginya seperti anak sendiri,” jawab si kakek.
Pembesar itu benar-benar terkesan oleh kemuliaan hati si kakek. Tak banyak orang yang bisa menerima kembali seorang pengkhianat. Pembesar itu dengan senang hati mengabulkan permohonan si kakek. Semua berakhir bahagia, kecuali anak angkat si kakek yang keluar dari tahanan dengan sangat malu.
Si kakek telah menyelamatkannya lebih dari sekali, bahkan sebelum ia bisa membalas budi. Ia merasa kehilangan muka setelah fitnah kejam atas ayahnya sendiri dibalas dengan kebaikan dan pembelaan. Padahal, bisa saja si kakek membiarkannya dijatuhi hukuman. Syukurlah, sejak itu perilaku si anak berubah. Si kakek pun sangat bahagia.
Sumber:
Rinurbad. 2011. 101 Cerita Bijak dari Korea (Symphony of Life from the Land of Morning Calm). Yogyakarta : Gradien Mediatama.
No comments