Ada sepasang orang tua memiliki seorang anak perempuan dengan paras cantik dan hati yang sangat baik. Mereka tinggal di sebuah kota kecil yang mayoritas penduduknya penganut kristiani yang religius. Pada suatu hari, anak perempuan berumur 7 tahun itu mendengarkan kotbah di gereja dekat rumahnya. Saat itu pendeta sedang membahas tentang iblis bernama Lucifer. Di jalan pulang ke rumah bersama ayah ibunya, anak perempuan tersebut tampak bersedih.
“Ada apa, Nak?” tanya ibunya.
Lalu anak perempuan itu hanya menggeleng dan tersenyum kepada ibunya. Kendati demikian, sang ibu yakin dengan nalurinya bahwa anaknya pasti sedang memikirkan sesuatu yang mungkin ia sungkan untuk ungkapkan. Di malam hari, ibu mengintip ke kamar anaknya yang hanya tertutup tirai tebal dan melihat si anak masih terduduk berdoa di pinggir kasur.
“Ya Tuhan, aku bersyukur akan segala kenikmatan yang Kau berikan hari ini. Tolong selalu berkati kedua orang tuaku, saudara-saudariku, serta lindungilah seluruh warga kota ini dengan keagungan-Mu. Ya Tuhan, aku juga berdoa untuk Lucifer karena aku sedih tidak ada yang berdoa untuknya. Aku harap Engkau dapat mengampuni dan mengasihinya. Amin.”
Mendengar doa putrinya, si ibu langsung kembali ke kamar dan menceritakan semua hal tersebut kepada suaminya. Sang ayah tidak percaya sampai keesokan malam ia mencoba menguping doa anaknya sebelum tidur, lalu diulanginya besok dan besok lagi. Ternyata doa yang diucapkan anaknya masih tetap sama.
Akhirnya kedua orang tua itu berinisiatif memanggil pendeta setempat ke rumah untuk melihat anaknya. Mereka khawatir kalau doa yang selalu dipanjatkan anaknya justru mengundang iblis masuk ke rumah kemudian merasukinya. Singkat cerita, pendeta datang ke rumah dengan dalih undangan makan malam bersama keluarga tersebut yang berujung pada kesimpulan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang anak itu. Karena kenyataannya ia memang anak dengan kebaikan hati yang luar biasa.
Beberapa bulan berlalu, anak perempuan itu jatuh sakit. Kedua orang tuanya tidak mampu membawa anak itu berobat ke pusat kota karena jarak tempuh yang jauh dan biaya pengobatan medis yang sangat mahal. Karena putus asa melihat kesehatan anaknya yang semakin memburuk, orang tuanya memanggil pendeta untuk mendoakan anak itu di sisi tempat tidurnya. Sang pendeta yang baru mengetahui kalau anak perempuan itu sakit langsung berinisiatif membawa sang anak berobat ke pusat kota dengan mengandalkan bantuan dari jemaat yang punya kereta kuda.
Sayangnya, anak itu tak tertolong dan mengembuskan napas terakhirnya di tengah perjalanan. Jasad si gadis kecil dibawa kembali ke gereja untuk didoakan agar kemudian dapat dimakamkan. Karena hari sudah terlalu sore, maka jasad anak itu disimpan sementara di dalam gereja dan pemakaman akan dilangsungkan esok pagi.
Keesokan paginya, pendeta bersiap membuka pintu gereja. Begitu kagetnya ia melihat pintu gereja sudah tidak terkunci dan beberapa warga berkumpul di depan gereja dengan wajah bingung.
“Ada apa?” Tanya pendeta kepada salah satu warga.
“Lihatlah, seseorang dengan beberapa kereta kuda datang membawa peti mati yang sangat mewah dan rangkaian bunga yang banyak. Ia tidak berkata apa-apa dan berjalan masuk begitu saja ke dalam gereja. Ada beberapa orang lain juga yang masuk dan menurunkan barang-barang ke dalam gereja. Namun, setelah selesai mereka langsung pergi. Mereka kelihatan aneh.”
Pendeta itu melihat di dekat gereja hanya ada satu kereta kuda mewah yang sedang parkir. Lalu pendeta memasuki gereja. Ia melihat seorang pria berpostur gagah dan mengenakan setelan jas hitam sudah berdiri berhadapan dengan jasad anak yang sudah dibaringkan di atas peti mati mewah dengan hiasan bunga-bunga di sekitarnya.
Sang pendeta terus menghampiri pria itu lalu sesaat kemudian sang pria berani menatap mata pendeta tersebut. Mata pria itu meradang merah dan tampak bengkak. Belum ada kata yang keluar dari mulut pendeta itu. Namun, seketika pria itu berpaling dan membelakanginya.
“Aku datang hanya demi memberikan penghormatan terakhir untuk satu-satunya manusia yang selalu mendoakanku. Ia tidak pernah menghina bahkan menyalahkanku atas setiap kesalahan yang dilakukan golongan kalian sendiri.”
Sangat menarik, dan perlu untuk dilihat tidak dari satu sudut pandang saja
ReplyDelete