Konon kabarnya, manusia berlomba-lomba menciptakan teknologi canggih demi mempermudah kehidupan di masa depan. Memang sih sebagian besar teori tersebut menjadi kenyataan, contohnya era Internet of Things (IoT) membuat akses informasi semakin praktis dan lengkap. Namun, sebenarnya implementasi teknologi masih sering salah kaprah sehingga bukannya mempermudah malah bikin ribet.
Mau Buka Rekening Berjangka Aja Ribet Banget
Suatu hari saya pernah merhatiin proses pembukaan rekening berjangka di salah satu bank terkemuka tanah air. Jadi, bank itu bikin booth event di tengah mall untuk menarik perhatian calon nasabah. Alhasil, emak-emak rupanya tertarik dengan sisten rekening tersebut karena menganggapnya sebagai solusi terbaik untuk menabung. Rekening berjangka itu kan kayak maksa nabung gitu, sistemnya akan auto debet per bulan sejumlah dana tertentu sesuai kesepakatan.
Pengisian formulir rekening berjangka dibantu staf bank yang berjaga di booth tersebut. Selanjutnya, ada satu tahapan lagi yaitu wawancara sama customer service yang dilakukan melalui video call. Perangkat bank yang satu ini sih emang canggih, ya. Ada layar berukuran kurang lebih 21 inci untuk video call yang dilengkapi fasilitas lainnya seperti keyboard, headset, printerd, dan scanner. Sayangnya, proses video call dan verifikasi datanya ribet banget. Komunikasi dengan mbak-mbak customer service rentan putus. Selain itu, tak sedikit emak-emak yang kesulitan melakukan verifikasi karena harus memiliki email sebagai salah satu syarat utama.
Kayaknya bakal lebih gampang kalau ada mbak-mbak customer service yang standby di booth event tersebut. Jadi wawancara nggak perlu dilakukan secara virtual. Di samping itu, mungkin sebaiknya bank juga melakukan proses verifikasi yang lebih praktis tanpa email dengan tetap mempertahankan sisi keamanan. Wahai bank kondang, nggak semua emak-emak itu paham atau punya email. Tapi percaya deh, jiwa menabungnya bisa istikamah dan menguntungkan bank banget kok. So, nggak usahlah mempersulit emak-emak yang pengen nabung dengan mewajibkan soal email dan tetek bengek tahi kucing lainnya.
Pengen Makan di Restoran Juga Ribet
Satu lagi contoh implementasi teknologi yang malah bikin ribet adalah sistem menu di restoran. Suatu hari saya makan di restoran terkenal khas Jawa Tengah yang baru buka di mall. Ketika saya duduk, pramusaji menyodorkan display QR Code di meja untuk dipindai jika saya ingin melihat dan memesan menu. OK saya langsung pindai, nggak susah kok buat saya. Fitur pemesanan tersebut punya kolom request juga kalau saya mau minta sesuatu, misalnya mau minta minuman dengan gula sedikit atau tambahan cabai di makanan.
Di sisi lain, saya membayangkan keribetan yang bakal dirasain kalangan lansia saat mau makan di restoran tersebut. Misalnya nih ada lansia yang lagi sendirian dan pengen santai sambil makan, eh ternyata dia malah disuruh pindai QR Code dan langsung pesan dari situ. Mayoritas lansia itu agak gaptek dan bakalan merasa repot kalau disuruh pesan via online.
Saya sih menyayangkan banget konsep kekinian yang diusung restoran tersebut. Padahal varian menunya itu lebih condong ke selera orang dewasa dan lansia, bukan generasi Z. Namun entah kenapa mereka malah mewajibkan pelanggan memesan via QR Code. Kalau ada orang yang lagi nggak bawa smartphone atau gaptek sih ya mungkin pramusajinya bisa aja kali dimintai tolong untuk memesan makanan dan minuman secara manual.
Kesimpulannya, teknologi emang bisa banget kok mempermudah kehidupan manusia asalkan penggunaannya efektif. Jangan maksain pengen pakai teknologi canggih jika memang ternyata cara manual masih lebih praktis dan hemat waktu.
No comments