Semoga doa-doa masih bercahaya,
menjadi terang mengikat kita yang saling percaya:
bahwa situasi sulit akan berakhir,
lalu senyum itu akan kembali terukir.
Biar cintaku menjadi belukar di pelataran rumahmu.
Bisa kau bersihkan,
namun tak pernah benar-benar bisa kau singkirkan.
Pergi untuk mengartikan pulang, lalu singgah kemudian hilang.
Betapa pamit sepertinya harus diartikan sebagai kerelaan,
karena kembali bisa jadi bukan lagi tujuan.
Tetaplah berjalan entah cepat atau pelan.
Bukankah perjumpaan lahir dari langkah yang saling menemukan?
Nostalgia kembali jadi mesin waktu.
Setidaknya mengobati rindu,
walau setelahnya pikiran kembali tak menentu.
Raga diam di rumah,
rindu terbang tak tentu arah.
Tidak perlu semua harus terlaksana dalam satu waktu.
Pelan-pelan, jalan masih panjang, nikmati, semua masih bisa terjadi.
Terkadang mengikhlaskan bagai sebuah langkah di perjalanan:
kau hanya perlu memulainya.
Kalau sudah tahu posisimu bukan yang utama,
kenapa masih kau keluhkan balas pesan terlalu lama?
Kau adalah napas yang buatku berlari tanpa terengah.
Maka iringilah aku, sebab bersamamu aku selalu yakin ke mana arah melangkah.
Rinduku air terjun,
mengalir paling deras, mengikis paling keras.
Biar aku hilang ditelan lembayung bila adaku tak pernah kau hitung.
Bersama mentari menari-nari, merayakan padamnya rasa di sanubari.
Memang; sedihmu urusanku, bahagiamu semangatku.
Tetapi; pergiku jangan jadi tangismu, sebab cintamu bukan untukku.
Biarkan ragaku bertualang, hatiku pun ingin memiliki tempat pulang.
Tak mengapa jika angin ingin menghempaskanku ke mana pun ia mau.
Mungkin tubuhku akan jatuh,
tetapi setidaknya hatiku tetap utuh.
Daripada terus terombang-ambing ketidakpastian,
lebih baik aku tegar merelakan walau diayun kesepian.
Ketika yang lain sudah membangun bahtera rumah tangga untuk mengarungi samudra hidup
dan kau masih saja sendiri menikmati debur lautan asmara.
Santaikan saja.
Kamu kenapa? Rindu?
Bukannya menghubungi malah bersembunyi.
Ya, barangkali kau memang siap terbunuh perasaan sendiri.
Aku suka tangisanmu.
Bukan karena kau tak pantas bahagia,
melainkan hanya sedih yang mampu membuatmu menemuiku.
Tadi cerah kok tiba-tiba mendung?
Ah, harusnya kita berbiasa saja.
Seseorang yang berjanji setia juga bisa secepat itu mengingkarinya.
Tidak ada yang perlu dilebihkan, percuma.
Kita hanya napas kecil sebagai tamu semesta.
Dari tanah, kembali ke tanah.
Yang kau bilang lucu bisa jadi sedang menanggung pilu.
Berkorban hidupnya hanya untuk membuatmu bahagia.
Muka tertawa, hati sedih tak bernyawa.
No comments