Waktu di sekolah dulu saya dikenal sebagai murid yang cukup cerdas. Meskipun sebenarnya sesekali saya juga menyontek untuk mata pelajaran tertentu yang tidak saya sukai, salah satunya Kewarganegaraan. Ketika menyontek, biasanya saya bekerja sama dengan beberapa teman yang sama-sama duduk di deretan paling belakang. Untuk beberapa mata pelajaran sulit seperti Matematika, Fisika, dan Kimia, teman-teman saya tidak bisa diharapkan. Menulis contekan rumus sih bisa, tapi biasanya malah bingung saat harus memasukkan angka. Maka saya tidak pernah menyontek untuk mata pelajaran yang sulit, terutama mata pelajaran yang melibatkan angka.
Saya tidak tahu kalau ternyata guru-guru SMU saya merestui muridnya untuk saling menyontek saat Ujian Nasional (UN). Barangkali mereka menyadari bahwa cukup banyak murid yang kompetensi belajarnya di bawah standar ketuntasan belajar sehingga akan kesulitan melewati UN dengan lancar. Sehingga murid yang dianggap pintar diharapkan membantu temannya yang dianggap “kurang” sewaktu UN. Guru Kimia saya yang terkenal sangar pun turut melakukan hal serupa. Hari itu ketika ulangan harian, Beliau berkeliling ke sudut-sudut kelas seperti biasa. Kemudian Beliau berdiri di samping saya sambil memperhatikan kertas ulangan yang sedang saya isi.
Dua menit berlalu, tiba-tiba si Pak Guru menyentuh lengan saya dengan siku kanannya sambil setengah berbisik, “Mel, kau tolonglah si M (inisial) waktu UN nanti…”