Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
Aku akan menyayangimu seperti kabut yang raib di cahaya matahari:
aku akan menjelma menjadi awan hati-hati mendaki bukit agar bisa menghujanimu:
pada suatu hari baik nanti.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Karena tak dapat kuungkapkan kata yang paling cinta,
kupasrahkan saja dalam doa.
Pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati.
Cinta itu menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan.
Cinta adalah sebuah ruang kedap suara.
Cinta tak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda.
Cinta beriman pada senyap.
Yang fana adalah waktu.
Kita abadi: memungut detik demi detik,
merangkai seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Kesepian adalah benang-benang halus ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi wujud yang sama sekali berbeda, yang bisa saja tidak diingat lagi asal-usulnya.
Hanya ulat busuk yang tidak ingin menjadi kupu-kupu.
Mencintai angin harus menjadi siut.
Mencintai air harus menjadi ricik.
Mencintai gunung harus menjadi terjal.
Mencintai api harus menjadi jilat.
Mencintai cakrawala harus menebas jarak.
Mencintaimu harus menjadi aku.
Bukankah langit kosong tetapi isi?
Dan bukankah hatimu penuh dengan isi tetapi kosong?
Siapa pun memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan apa pun
selama usahanya dilandasi oleh pengertian.
Barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras.
Ia merasa Tuhan sedang memandangnya dengan curiga, ia pun bergegas.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.
Kita akan terpisah semakin jauh
namun tetap bersama-sama menghela dan menghembuskan napas.
Kamu ada dalam helaan napasku, aku terdengar dalam embusan napasmu.
Aku, kau tahu,
tak berhak lagi berurusan dengan waktu.
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu.
Kubiarkan angin, yang pucat dan tak ada habis-habisnya gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu.
Entah kapan kau bisa kutangkap.
Cinta itu menembus apapun
yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan.
Cinta adalah sebuah ruang kedap suara.
Cinta tak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda.
Cinta beriman pada senyap.
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi
agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis
dan tak ada orang bertanya kenapa.
Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap,
tapi takdir harus ditandatangani di atas materai
dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, atau buruk.
Ketika berhenti di sini ia mengerti ada yang telah musnah.
Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan,
dan tak sampai ke siapapun.
No comments