Di batas kemampuan seseorang,
Ada level pasrah yang melebihi ikhtiarnya.
Berat.
Tapi harus
kuat.
Pasrah
hanya pada Tuhan.
Bukan
pada dunia.
Pasrah
bukan berarti menyerah.
Aku
ingin memahami,
betapa
nyamannya ketika hati kita titipkan kepada-Nya.
Suatu hari
kamu akan sampai pada fase “ya sudahlah”.
Bukan
karena menyerah, tapi telah pasrah pada Allah.
Hidup
itu selalu menarik.
Daripada
hanya pasrah, selalu coba cari jalan.
Di
segenap gundah
ada lelah
yang semakin memuncak
diri yang
hina hanya bisa pasrah
ada Allah
tempat meminta hal yang terbaik.
Serahkan
segala urusan kepada Tuhan.
Biarkan
waktu dan kehidupan berjalan.
Ada saatnya
kita tak punya pilihan lain,
selain
terdiam dan mencoba menerimanya.
Pasrah
aku menjadi seonggok lilin,
siap padam
tertiup angin kencang.
Sendiri
dalam sepi dengan bekas noda hitam seperti malam,
jika tega
aku kau tinggalkan.
Kebahagiaan
itu harus diperjuangkan,
bukan dengan
cara mengemis minta belas kasihan, rendah diri, dan pasrah nasib.
Pasrah
itu bukan diam membiarkan diri tersakiti.
Tapi pasrah
itu menguatkan diri dalam setiap untaian doa.
Pasrah
itu bukan berarti diam.
Pasrah
itu tetap ikhtiar dengan maksimal
namun menyerahkan
sepenuhnya hanya kepada Allah.
Berjuang
itu sakit.
Tapi
akan lebih sakit kalau kita pasrah dengan keadaan.
Mulai
hari ini, ikhlaskanlah dan pasrahkanlah semuanya.
Jika
ikhtiar dan doa sudah digencarkan sebagaimana mestinya.
Saat kita
kesulitan, kita punya dua pilihan.
Bangkit
dan menghadapinya atau pasrah dan meratapinya.
Bersyukur
itu bukan berarti pasrah menerima,
tetapi
bekerja keras untuk mengadakan yang terbaik.
Ikhlas
membiarkan diri tenang, pasrah membiarkan diri kalah.
Kadang
kala pasrah meski terpaksa tanpa ampun
layak dijadikan
pilihan untuk sedikit meredakan gemuruh badai di dalam dada.
Berusaha
dan gagal ternyata jauh lebih melegakan
daripada
pasrah melihat kegagalan dengan tangan terlipat.
Jika gagal
hari ini maka terima saja.
Tidak perlu
sedih apalagi marah-marah.
Cukup berpasrah
diri.
Tapi jangan
lupa untuk mencoba lagi besok.
No comments