Hidup
kadang selucu itu. Ibarat sistem zonasi sekolah, yang terbaik selalu kalah
dengan yang terdekat. Soal urusan sekolah, murid terbaik belajar mati-matian
demi nilai bagus supaya bisa masuk ke sekolah favorit. Giliran tiba waktunya
penentuan sekolah, murid-murid dengan lokasi rumah terdekat yang akhirnya bisa
belajar di sekolah favorit tersebut.
Iya,
memang lucu. Sama halnya ketika kita berusaha menjadi yang terbaik bagi orang
lain. Kita senantiasa merelakan waktu, pikiran, dan hati kita untuk orang-orang
yang kita sayangi. Namun, belum tentu demikian pula halnya dengan orang yang
kita sayangi. Saat tiba waktunya dia membutuhkan orang lain, yang terdekatlah yang
akan menjadi andalan. Karena yang dekat senantiasa ada di sampingnya. Bisa
secepat kilat meluangkan waktu untuk menghampiri dan berada di dekatnya,
menemaninya ke mana saja.
Lantas
kita mulai berpikir dan merenung. Kalau aku bisa melakukannya, aku pasti juga
ingin seperti itu. Melesat secepat kilat supaya bisa menemanimu ke mana saja.
Sayangnya, aku punya banyak keterbatasan. Keterbatasan yang barangkali
membuatmu semakin jauh dariku. Sebab nyatanya aku hanya eksis di dunia mayamu
saja. Kenyataan itu memang menohok bagiku. Apalagi melihat foto-foto bahagiamu
tanpa aku.
Aku
cuma bisa mengenang bahwa dulu aku begitu keren dan powerful, begitu
berarti bagimu walaupun sekarang mungkin tidak lagi. Tapi tak mengapa. Pada
akhirnya semua orang hanya bisa pasrah mengartikan posisi dirinya di hidup
orang lain. Jika yang terbaik memang selalu kalah dengan yang terdekat, berarti
yang terbaik itu mungkin hanya terlalu percaya diri karena menganggap dirinya
terbaik.
Atau
mungkin memang hanya aku saja yang terlalu yakin menyebut diri sendiri sebagai
yang terbaik.
Biar mampus saja aku dikoyak-koyak ekspektasi dari otakku
sendiri.
Manusia itu lahir sendiri dan mati pun sendiri. Jadi, apa yang perlu ditakuti dari sebuah kesendirian?
This
is self reminder. Self reminder. Self reminder.
No comments