Beberapa
hari belakangan ini berita tentang demo mahasiswa menolak RUU KUHP sedang marak
di media massa. Para mahasiswa dari sejumlah universitas tersebut menggalang
gerakan solid untuk satu visi yang sama. Tiba-tiba aku teringat dengan almamaterku,
salah satu universitas populer di tanah air. Universitas tersebut melarang
mahasiswanya berdemo dengan ganjaran berupa Drop Out (DO) bila ketahuan nekat
melanggar peraturan tersebut.
Sejak masih
berstatus mahasiswa, aku sering tak sengaja memikirkan peraturan universitas
yang satu itu. Di satu sisi, barangkali universitasku tidak ingin ada
mahasiswanya melakukan vandalisme yang terhitung sebagai tindak kriminalitas.
Atau mungkin pula karena universitas tersebut tak ingin ada mahasiswa yang
terluka atau meregang nyawa karena menjadi korban kekerasan dalam aksi demo. Dua
hal tersebut adalah hasil pemikiran dari sisi positif. Lantas, bagaimana dengan
sisi negatifnya?
Tak jarang
pula aku berpikir bahwa universitasku termasuk golongan cari aman. Terutama
karena banyak mahasiswanya yang berstatus sebagai keturunan etnis Tionghoa. Sehingga
universitas tersebut tak mau terkena imbas dari segi politik atau tak ingin
masyarakat keturunan Tionghoa enggan menyekolahkan anaknya di universitas yang
mencetak para pembangkang. Semua anggapan negatif tersebut jelas akan
menimbulkan dampak kerugian finasial berskala besar bagi universitas.
Jiwa Pengecut Dipengaruhi Oleh Lingkungan
Berkaca
dari fenomena tersebut, aku merasa bahwa pengaruh lingkungan punya andil besar
membentuk jiwa pengecut sejak dini. Sayangnya, aku pun menjadi salah satu
bagian dari jiwa-jiwa pengecut tersebut. Merasa tak berdaya memperjuangkan
kebenaran, bahkan untuk sekadar membela orang-orang yang kusayangi.
Tak jarang aku berpikir lama sekali di sepertiga malam hingga tak bisa tidur.
Apakah
kita semua memang harus berakhir begini?
Aku
ingat dulu kita begitu sering berseloroh tentang hal-hal remeh. Pernah sampai
dini hari hingga satu dua di antara kita tertidur lelap dan menerima ratusan
notifikasi keesokan harinya. Tapi sekarang sepi sekali. Bahkan untuk menyapa
pun aku sungguh tak berani. Aku memang pengecut. Jiwa pengecut itu sepertinya
sudah dipupuk sejak dulu dan buahnya baru tampak saat ini.
Saking
pengecutnya, aku tak berani melihat-lihat isi percakapan kita yang dulu. Aku
takut tak kuasa menahan kesedihan dan tertidur dengan mata bengkak.
Kadang-kadang aku ingin langsung bertindak mengikuti ungkapan ini:
“Selagi
masih bisa, jangan ditunda. Selagi masih ada, temuilah.”
Namun
sayang disayang, aku terlalu pengecut untuk melakukannya. Diam dan diam
barangkali memang menjadi keputusan terbaik. Biar waktu yang menjelaskan, biar
semesta yang bicara. Tapi kalau aku tak berani melakukan apa pun, mungkinkah
semesta bersedia membuka jalannya lebar-lebar?
Karena
aku pengecut, dulu aku selalu berlindung di balik tubuhmu. Setelah kamu
perlahan-lahan beranjak pergi, kini baru kusadari aku tak punya tempat
berlindung lagi.
No comments