Beberapa
waktu lalu saya berbincang dengan dua kawan saya, via DM Instagram dan
WhatsApp. Pembicaraan dengan dua kawan tersebut menghasilkan satu kesimpulan
yang sama tentang kehidupan. Saya rasa begitulah pola pikir mayoritas generasi
milenial.
Salah
seorang kawan saya tersebut mengatakan kalau dirinya tidak lagi ingin
bergantung kepada orang lain. People come and go. Kalau mau tinggal di
kehidupan gue ya silakan, kalau mau pergi juga silakan. Tidak ada waktu untuk
menyenangkan orang lain secara berlebihan. Karena hidup harus terus berjalan.
Demikian
pula halnya dengan kawan saya yang satu lagi. Dia menciptakan batas yang jelas
antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Dari cerita-ceritanya, terungkap
bahwa dia banyak belajar tentang betapa kerasnya hidup di dunia kerja. Dia
tidak mempermasalahkan hidupnya yang tidak memiliki terlalu banyak teman.
Baginya, terserah bila orang mau sejalan atau tidak dengan pendapatnya.
Nasihat
dari kedua kawan tersebut terasa sangat berhubungan dengan hidup saya. Tak
dapat dipungkiri bahwa seiring bertambahnya usia, circle kita akan
semakin kecil. Dan hal tersebut akan lebih parah lagi jika ternyata kita
memilih circle yang keliru. Sebuah circle yang kita bangun dengan
susah payah dan menopang hidup kita bisa saja hancur dalam hitungan hari.
Perhatian yang Salah
Ada
satu orang terdekat saya yang mengatakan hal ini beberapa kali kepada saya.
Bahwa saya terlalu mementingkan orang lain dibandingkan diri saya sendiri. Di
satu sisi, itulah cara saya menunjukkan perhatian kepada orang-orang terdekat.
Karena saya tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar itu dari kecil, maka
saya ingin memberikannya secara maksimal ketika dewasa. Anggap saja perhatian itu
adalah bentuk kompensasi masa kecil yang membuat saya bahagia ketika orang
terdekat saya bahagia.
Di
sisi lain, perhatian yang saya berikan terkadang menjadi boomerang bagi diri
sendiri. Ada yang salah sangka dan berpikiran negatif terhadap perhatian tersebut.
Ada pula perhatian yang ternyata tidak sejalan dengan keinginan orang lain. Hingga
akhirnya perhatian tersebut membuat orang terdekat saya tersiksa hingga
akhirnya kemarahan pun meledak dan melukai saya.
Saatnya Berjalan Sendirian
Tidak
ada yang tahu betapa terpuruknya saya akhir-akhir ini. Saya memang masih
tertawa lepas di rumah atau di depan orang lain yang sedang berkelakar. Namun,
ada saat-saat di mana saya menyesali segala hal yang pernah saya lakukan dulu.
Kesedihan bukanlah hal yang patut untuk dipertontonkan di hadapan orang lain.
Saya
merasa sangat heran mengapa orang terdekat saya tidak mengacuhkan saya sedikit
pun tetapi bisa berbalas komentar dan ketawa-ketiwi di media sosial dan
WhatsApp-nya bersama orang lain. Kalau saya memang salah, saya lebih suka dimarahi, atau bahkan dimaki-maki. Bukan hanya didiamkan, tidak dianggap, seakan-akan saya ini sampah. Tapi saya tidak boleh marah. Saya tidak berhak
marah. People come and go. Bukankah kita tidak berhak menahan orang lain
untuk tinggal dalam hidup kita?
Ada
hal-hal besar yang baru saya pahami belakangan ini. Bahwa ekspektasi kita
terhadap apa pun memang tak boleh berlebihan. Jalani saja. Lakukan hal-hal yang
kita sukai tanpa mengharapkan apa pun. Kejadian beberapa waktu ini juga
menguatkan cara pandang saya tentang uang. Bahwa uang memang menyenangkan dan
penting daripada teman. Uang memang tidak bisa membeli segalanya. Namun, saya
bisa membeli sesuatu yang saya inginkan dengan uang. Dengan uang, saya bisa
melakukan banyak hal yang tidak akan bisa dilakukan seandainya saya tidak punya
uang.
Fokus
saya saat ini hanya bekerja untuk mendapatkan uang. Bekerja membuat saya
mendapatkan uang sekaligus bisa melupakan hal-hal buruk yang sedang terjadi. Menyibukkan
diri memang sangat menyenangkan daripada meratapi nasib yang tidak sesuai
dengan harapan.
Kecoa
itu hewan yang sibuk mencuri makanan, menyusuri lubang WC, dan melakukan
hal-hal menjijikkan lainnya. Kecoa juga tidak disukai oleh mayoritas manusia di
bumi. Tapi toh kecoa tetap hidup, menjadi kuat dan ditakuti karena bisa tiba-tiba
terbang, dan leluasa melanjutkan kehidupannya. Mungkin filosofi kehidupan kecoa
adalah pedoman hidup yang harus saya imani.
No comments