Generasi
Z punya karakter istimewa yang membedakannya dengan generasi-generasi
pendahulu. Mereka itu cerdas, kritis, tech-savvy, dan punya rasa ingin
tahu yang tinggi. Di zaman serba canggih ini, generasi Z tak ragu mengomentari
dan melontarkan kritik tentang kekurangan orang lain. Hal tersebut sih
emang sah-sah aja. Namun, bukan berarti kebebasan berpendapat tersebut boleh
membuat generasi Z menjadi angkuh.
Buat
saya pribadi, kadang-kadang pilihan terbaik adalah menerima. Kalau kita
tidak sedang memperjuangkan kebenaran atau mengalami kerugian besar secara
moral maupun material, menerima sesuatu yang bertentangan dengan hati kita sebenarnya
tak selalu buruk. Kali ini saya berbicara dalam konteks dunia pendidikan, tentang
pengalaman pribadi saya sewaktu bersekolah.
Relasi Kedudukan itu Membuat Kita Lemah
Pernah
gak sih merasa kalau kesalahan kita selalu dicari-cari oleh guru tertentu di
sekolah?
Kayaknya
kita gak bertingkah aneh-aneh, tapi kita selalu salah di matanya. Bukan cuma
nilai afektif yang pas-pasan, nilai kognitif pun tak jauh berbeda. Atau tak
jarang pula kita dituding sebagai biang kericuhan di kelas. Padahal masih
banyak teman-teman lain yang lebih rusuh dan menyebalkan.
Lantas apa yang bisa kita lakukan?Mau ngadu ke siapa? Guru Bimbingan Konseling (BK)? Kepala Sekolah? Ketua Yayasan?Who cares?
Mayoritas
guru BK atau Kepala Sekolah tak akan menindaklanjuti curhat murid-murid tentang
guru tertentu. Karena guru yang bermasalah itu ya tak lain adalah temannya
sendiri. Emangnya ngana pikir mereka mau mengorbankan hubungan jangka panjang dengan
sesama rekan kerja hanya demi murid yang bersekolah selama beberapa tahun saja?
Relasi
kedudukan adalah salah satu faktor yang
membuat kita menjadi lemah saat berhadapan dengan guru-guru. Karena guru
identik dengan kesan dewa yang selalu benar, orang tua kedua bagi kita di
sekolah. Padahal, degradasi mental guru malah rentan membuatnya menjelma jadi
penjahat terselubung.
Kalaupun
bukan karena hormat kita kepada mereka, relasi kedudukan yang bersangkutan
dengan kekuasaan tetap membuat kita lemah. Sebab tak sedikit guru yang bernafsu
melakukan manipulasi nilai murid karena faktor subjektivitas jika ada murid
yang bermasalah dengannya. Kalau mau nilai-nilai kita selamat, merendah dan
minta maaf adalah salah satu solusi terbaik. Ya, merendah dan minta maaf. Percayalah,
saya sudah satu dua kali melakukannya demi kepentingan diri sendiri.
Jadilah Anak Emasnya agar Bisa Menggenggam “Dunia”
Kualitas
guru zaman sekarang memang tidak sebaik guru-guru senior beberapa puluh tahun
lalu. Namun, hal tersebut sebaiknya tidak mempengaruhi niat kita untuk menjadi
pelajar yang baik. Belajarlah dengan tekun, turuti semua nasihat guru yang
memang baik bagi diri kita. Dengan demikian, jalan menjadi anak emasnya akan
semakin mudah. Faktanya, banyak privilege yang bisa kita dapatkan jika
berhasil menjadi anak emas guru. Mendapatkan nilai bagus, respon menyenangkan
saat menanyakan pelajaran, dan pujian setiap hari akan berada di dalam
genggaman tangan kita.
Tak
dapat dipungkiri kalau ada guru yang memilih anak emas bukan berdasarkan
prestasi atau kepatuhan. Dahulu guru fisika saya yang berjenis kelamin
perempuan rasa-rasanya tidak terlalu respect terhadap saya. Padahal sih
kayaknya saya gak goblok-goblok amat. Dia lebih menyukai murid-murid lelaki yang
kepandaiannya setara dengan saya. Entahlah, mungkin karena dia hanya punya
semata wayang anak perempuan dan menginginkan anak lelaki. Sentimen gender
tersebut membuat saya tidak pernah bisa dekat dengan sang guru fisika itu
hingga saya lulus sekolah. Kalaupun waktu itu sempat bertemu lagi pasca lulus,
pertemuan yang penuh basa-basi dan cipika-cipiki dengannya hanya sebatas
formalitas. Sebagai bentuk rasa hormat karena dia pernah menjadi guru saya.
Percayalah,
mayoritas guru akan menjadikan kita sebagai anak emasnya jika kita tergolong
murid pintar yang patuh. Bahkan, bahkan, bahkan…
Bisa
jadi kesalahan kita tak pernah kelihatan di matanya. Misalnya nih, teman kita
dimarahin karena disangka ngajak kita ngobrol. Padahal sebenarnya kita yang
duluan ngajak ngobrol sambil ngakak-ngakak seru. Trust me, it works.
Menerima Berarti Belajar Mendewasakan Diri
Di
mana pun kita berada, entah itu di sekolah, di kantor, di tengah-tengah
masyarakat, “orang gila” akan selalu ada. Keyakinan kita tentang suatu solusi
atau proses yang benar bisa dihalangi oleh seseorang atau sekelompok orang. Itulah
sebabnya kita harus belajar menerima sejak dini, sejak kita masih duduk di
bangku sekolah.
Saya
ingat betul bahwa saya pernah berlapang dada karena aduan tentang guru mesum
atau guru yang gak becus ngajar hanya dianggap angin lalu oleh Kepala Sekolah.
Pengaduan yang kami lakukan saat itu hanya berujung sia-sia. Padahal, kami
berhak mengadu dan memperoleh solusi karena aktivitas sekolah tersebut juga
bergantung pada uang yang kami bayarkan.
Dari kejadian
itu, saya banyak belajar bahwa kita tidak bisa selalu mendapatkan hal-hal yang
kita butuhkan. Saat diajar guru yang gak becus, mau tak mau saya harus berusaha
belajar secara mandiri. Melakukan pengayaan materi dari sumber-sumber lain yang
tidak saya dapatkan di sekolah. Saya dan teman-teman lainnya juga belajar
mengenali karakter orang lain. Dalam ruang lingkup pergaulan kita, orang-orang
dengan karakter “ajaib” akan selalu ada. Bila kita tidak luwes menghadapinya,
maka energi kita yang akan terkuras karena merasa emosi.
Daripada
membuang-buang energi untuk hal-hal yang sifatnya menyerupai sampah, alangkah
lebih baik jika kita memperkaya diri sendiri. Belajarlah dengan tekun dan
bersikap disiplin di sekolah. Bila ilmu-ilmu di sekolah tak cukup untuk
memperkaya diri kita, carilah ilmu-ilmu bermanfaat dari sumber lain. Jangan
buang waktu untuk menggerutu dan mengamati kesalahan orang lain. Buktikan kalau
pohon apel yang tumbuh di sekitar sampah akan tetap menghasilkan apel yang
ranum dan segar. Apel itu tak akan terpengaruh oleh bau busuk dan kuman-kuman
yang ada di sekitarnya.
No comments