Pada
suatu hari di sebuah hutan yang lebat, seorang pemburu berhasil menangkap
seekor kancil jantan. Kala itu, anjing peliharaan si pemburu yang membantu
menemukan si kancil di tengah hutan. Kancil tersebut benar-benar pas untuk
dimakan. Tubuhnya gemuk dan sehat dengan bulu cokelat berkilauan. Usianya pun
tidak terlalu muda atau terlalu tua. Dagingnya pasti sangat tebal dan gurih,
cocok untuk hidangan makan malam.
Pemburu
itu mengikat keempat kaki kancil dan langsung membopongnya ke rumah. Sesampainya
di rumah pemburu, kancil dilepaskan di sebuah kandang besar yang terbuat dari
kayu-kayu kokoh. Sementara si anjing peliharaan pemburu diikat tak jauh dari
kandang tersebut. Hari menjelang malam. Sang pemburu sibuk menyiapkan bahan-bahan
untuk membuat sup kancil. Ia mengiris wortel, kentang, mencuci bumbu, dan mulai
merebus air.
Kancil
yang menyaksikan pemburu memasak mulai ketakutan. Tubuhnya gemetar. Khawatir
kalau riwayatnya benar-benar tamat di mulut pemburu yang lapar. Namun kancil
mencoba menenangkan hatinya. Kancil memutar otak dengan keras sampai akhirnya
ia menemukan sebuah ide.
“Hai,
pemburu. Aku sangat kehausan nih. Bolehkah aku minta sedikit air?”
“Jangan
banyak omong. Sebentar lagi kamu akan kumasak. Kamu tak butuh air minum.”
“Wah,
kamu keliru. Kalau aku kekurangan air, dagingku akan terasa keras ketika
dimasak. Sangat alot dan tak enak dimakan. Daging
yang berair tentu lebih empuk dan gurih.”
Sang
pemburu diam saja mendengar perkataan kancil. Sementara si kancil tetap tak
putus asa merayunya dari balik kandang kayu.
“Oh,
aku punya ide, wahai pemburu. Tolong berikan aku air rebusan supmu itu. Biar
aku meminum kuah yang sudah berbumbu itu. Bumbunya pasti meresap sempurna ke
seluruh bagian dagingku. Ayo, berikan aku kuahnya beberapa sendok saja.”
Si pemburu
akhirnya luluh juga. Ia memberikan beberapa sendok kuah sup yang sedang dimasak
pada kancil. Anjing peliharaan si pemburu yang dari tadi tertidur rupanya tak
mendengar percakapan antara kancil dan pemburu. Ketika ia membuka mata, ia
hanya menyaksikan tuannya menyuapi kancil dengan kuah sup. Setelah memberi
minum kancil, sang pemburu pergi ke luar rumah sebentar untuk mengambil sayuran
di kebun. Kancil pun mulai mengajak anjing pemburu berbicara.
“Wahai
anjing yang kuat, sudah berapa lama kamu setia mengikuti tuanmu si pemburu?”
“Aku
sudah dipelihara sejak lahir. Kira-kira sudah 5 tahun lamanya. Aku senang
mengikuti tuanku. Karena aku sering diajak berburu ke hutan.”
“Ah,
dasar kau anjing bodoh. Apanya yang menyenangkan? Setiap hari kamu hanya diberi
nasi dan lauk sisa kan? Padahal kau sudah membantunya berburu selama 5 tahun.
Dia sangat tidak menghargaimu.”
Mendengar
ucapan si kancil, anjing pemburu hanya terdiam.
“Kau
tahu tidak tuanmu bilang apa padaku tadi? Dia bilang bahwa dia akan memasakmu!”
“Tidak
mungkin. Tuanku sangat sayang kepadaku.”
“Kamu
tidak percaya padaku? Tuanmu tadi juga bilang kalau kamu sudah semakin tua. Gerakmu
lambat dan kamu suka sekali tidur. Tuh, benar kan perkataan tuanmu. Kamu tidur
lelap sampai tidak mendengar percakapan kami.”
“Tuanmu
sudah lelah memelihara kamu. Katanya makanmu banyak dan kamu semakin pemalas.
Dia berencana memasakmu malam ini dan memakan dagingmu. Karena aku yang akan
menggantikanmu menjadi binatang peliharaannya.”
“Kamu bohong,
kancil. Tuankan tidak seperti itu. Dia tidak mungkin berbuat setega itu padaku.”
“Apanya
yang bohong? Kamu kan tadi lihat sendiri kalau tuanmu menyuapi kuah sup
untukku. Dia menyuruhku mencicipi kuah sup itu. Karena dia ingin tahu apakah
rasanya sudah pas dan cocok dengan dagingmu nanti.”
“Tidak!
Itu tidak boleh terjadi. Aku yang selama ini mengabdi kepadanya. Kenapa harus
aku yang dimasak. Kamu pasti bohong!” anjing pemburu mulai emosi mendengar
ucapan-ucapan kancil.
“Jangan
marah, dong. Aku juga tidak mau jadi peliharaan tuanmu. Aku lebih suka tinggal
di hutan. Tapi kalau tuanmu maunya begitu, aku bisa apa? Aku kan masih
terkurung di sini.”
Anjing
pemburu mulai termakan hasutan kancil. Hatinya begitu cemburu mendengar cerita
kancil. Ia berharap bahwa dirinya yang mendapatkan perlakuan istimewa, bukan si
kancil yang baru ditangkap dari hutan. Dengan sekuat tenaga, anjing pemburu
berlari hingga tali pengikatnya terlepas. Anjing tersebut menabrakkan diri ke
kandang kayu tempat si kancil di kurung. Ia juga menggunakan gigi-gigi tajamnya
untuk merusak kandang tersebut.
Tak berapa lama kemudian, kandang kayu tersebut
mulai terbuka. Kancil pun memanfaatkan kesempatan untuk segera melepaskan diri
dan lari ke hutan. Saat
si pemburu masuk ke rumah, ia mendapati kancil sudah kabur karena kandang
kayunya rusak. Hanya ada anjing peliharaannya yang duduk kelelahan di dalam
kandang kayu. Pemburu kehilangan bahan makan malamnya. Rasa lapar dan emosi
yang memuncak akhirnya menggelapkan mata si pemburu. Ia mengambil sepotong kayu
besar di dapur dan memukul anjing peliharaannya berulang kali.
Anjing
yang sudah kepayahan itu tidak melawan tuannya. Ia tidak tahu mengapa tuannya
begitu marah padanya. Baginya, tuannya tetap yang terbaik. Orang yang
merawatnya sejak baru lahir. Ia hanya meringkuk sambil melolong menahan sakit
ketika tuannya terus menghantam kepalanya dengan kayu besar. Hingga akhirnya
anjing tersebut tak kuat lagi dan mati dengan kepala bersimbah darah. Saat anjingnya
tidak mengerang lagi, sang pemburu seketika baru menyadari perbuatannya. Namun,
penyesalan sudah tiada gunanya. Pemburu itu kehilangan menu makan malamnya dan
sahabat terbaiknya dalam sekejap.
Fokus kita
bukan kancil yang berhasil mengelabui anjing pemburu. Iya, kancil memang selalu
digambarkan sebagai binatang yang sangat cerdik. Hal yang paling menyedihkan
adalah kematian anjing pemburu yang salah sangka terhadap pemburunya. Sering
kali kita menjalani hidup dengan ekspektasi yang tinggi terhadap orang-orang
yang kita sayangi. Kita mengharapkan kasih sayang yang sangat besar karena kita
bersedia memberikan kasih sayang yang sama besarnya. Hingga akhirnya kita lupa
bahwa harapan adalah akar dari segala kekecewaaan.
Harapan
yang muluk-muluk itu kerap berakhir dengan kekecewaan. Apa yang kita berikan
kepada orang yang kita sayangi belum tentu sesuai dengan keinginannya. Belum
tentu membuatnya bahagia. Belum tentu kita mendapatkan apresiasi yang kita
harapkan. Sehingga akhirnya kita hanya bisa diam dan kecewa. Karena ternyata
yang kita lakukan itu salah dan tidak sama dengan keinginan orang yang kita
sayangi.
Bukan kayu
besar yang membunuh kita seperti yang dipakai si pemburu untuk memukul
anjingnya sampai mati. Melainkan kekecewaan besar itu yang menyakiti hati kita.
Barangkali lebih sakit daripada dipukul berulang kali dengan kayu. Sebagai makhluk
kesayangan Tuhan yang paling sempurna, seharusnya kita menggunakan akal kita
untuk tidak banyak berharap kepada orang lain. Sekalipun itu orang-orang yang
kita sayangi.
Namun
sayangnya kita lebih sering lupa. Kita masih kerap menggantungkan harapan
kepada orang lain. Padahal sebenarnya kita tahu, semua orang punya peluang yang
sama untuk mengecewakan kita di kemudian hari. Jikalau nanti kita kecewa lagi,
tak perlulah kita mengeluh dan merintih menahan sakit hati. Sebab sesungguhnya kita
sudah tahu konsekuensinya.
No comments