Beberapa
tahun lalu saya melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta dengan bus.
Kala itu, ada acara perpisahan SMU di Yogyakarta. Momen tersebut sangat
berkesan karena angkatan kami adalah angkatan pertama yang boleh melaksanakan
kegiatan perpisahan di luar kota.
Saya
sudah lupa dengan rute perjalanan yang saat itu saya lalui. Namun saya masih
cukup ingat bahwa saat itu bus kamu melewati daerah Garut, Purwokerto, dan Kebumen
sebelum tiba di Yogyakarta. Sekitar pukul 4 sore, bus kami mulai memasuki
kawasan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di sepanjang perjalanan, mata
kami disuguhi hamparan sawah dan rumah-rumah sederhana para penduduk lokal. Ada
satu hal yang sangat menarik perhatian saya dan teman-teman, yaitu sejumlah
reklame berukuran sedang yang dipasang di pohon.
Reklame
tersebut sangat banyak. Kira-kira kami bisa menemukan satu reklame yang sama
setiap 500 meter. Isi reklamenya adalah promosi restoran besar yang terdapat di
sebuah daerah. Katanya, daerah tersebut sudah tak jauh dari tempat reklame
tersebut dipasang. Saya dan teman-teman jadi penasaran, seperti apa kiranya
restoran tersebut. Iklannya begitu menarik, istimewa, dan tampak hebat.
Ada
reklame yang menampilkan nama-nama menu di restoran tersebut, ayam bakar adalah
salah satu andalannya. Selain itu, ada pula reklame yang menyebutkan bahwa
restoran tersebut memiliki fasilitas stop kontak untuk charging gadget serta toilet. Maklum saja, toilet memang berubah
jadi kebutuhan primer bagi para turis yang sedang melakukan perjalanan jauh.
Tak Kunjung Sampai
Sayangnya,
reklame-reklame itu hanya menampilkan kehebatan yang tak kunjung kami temukan. Semua
teman-teman saya sudah mulai tertidur sewaktu hari semakin senja. Hanya saya
yang masih melotot. Menikmati musik dari earphone
sembari terus mengamati reklame yang tak habis-habisnya. Bila saya serius
menghitung, tampaknya sudah lebih dari 40 reklame tentang satu restoran itu
yang saya lihat di sepanjang perjalanan. Di mana sih restorannya?
Ketika
hari semakin gelap, reklame-reklame itu masih tampak pada sejumlah pohon besar
di pinggir jalan. Sekarang jumlahnya malah semakin banyak, yaitu setiap jarak
20 meter. Isi reklamenya juga seakan menghitung mundur jarak menuju ke
restoran.
“Mari
mampir ke restoran X, 1 km lagi.”
“Mari
mampir ke restoran X, 720 meter lagi.”
Sore
itu, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Perut semakin keroncongan karena
perjalanan yang sangat panjang. Beberapa saat kemudian, rombongan kami singgah
di salah satu restoran untuk makan malam. Aha! Ternyata kamu akan makan malam
di restoran yang reklame-reklamenya sudah heboh sejak sore tadi. Wah, saya dan
teman-teman jadi penasaran. Seperti apa sih kualitas restoran yang promosinya
gencar sekali.
Waktu Akan Membuktikan
Saya
dan beberapa teman mulai menyendok nasi ke piring. Sementara guru dan
teman-teman lainnya sudah ada yang mulai makan dan masih ada yang duduk
bersantai. Tak ada yang istimewa dari aneka makanan yang disajikan secara
prasmanan di restoran itu. Saya sih sudah tak berharap menemukan olahan sayur
yang segar dan masih renyah. Dilihat dari bentuk dan warna sayur yang
disajikan, saya paham kalau sebagian besar menu tersebut sudah dihangatkan
berkali-kali.
Akhirnya
saya memilih rendang sebagai lauk makan malam. Seingat saya, rendang adalah
salah satu makanan tahan banting yang tak mudah basi. Aromanya juga tak gampang
berubah walaupun sudah dipanaskan berkali-kali. Teman-teman saya yang lain
mengambil lauk yang lebih variatif. Ada yang memilih mie goreng, ayam yang
dimasak dengan saus tiram, dan varian menu lainnya.
Menurut
saya, rasa makanan yang saya pilih itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang
istimewa. Tidak seperti saat saya melihat reklame restoran di jalan dan
membayangkan kelezatan makanannya. Teman saya lebih parah lagi. Dia menyodorkan
mie goreng yang sudah diambilnya banyak-banyak.
“Mel,
lo cobain dah mie gorengnya. Ini mulut gue yang rusak apa gimana sih, ya.”
Saya
mengambil sedikit mie goreng di piring teman saya dan langsung memasukkannya ke
mulut. Ih, rasanya aneh. Agak berlendir, sedikit bau, dan sudah tidak karuan. Untung
saya hanya mengambil sedikit saat ditawari. Jadi, mie goreng itu langsung saya
telan dan saya dorong dengan air minum.
“Mendingan
jangan elo makan deh. Ntar kalo sakit perut, pengen pup terus di jalan malah
ngerepotin.”
“Iya
juga, ya. Ntar kalo gue boker-boker malah ribet. Ah, kampret nih. Makanannya
gak ada yang enak.”
“Ini
lauk yang lain juga rasanya aneh lo. Tapi gak basi sih.” Teman saya yang lain
turut menimpali.
Malam
itu, kami mengisi perut sekadarnya saja di restoran. Supaya tak kelaparan sebelum tiba di
hotel. Dan benar saja. Setibanya di hotel, hampir semua teman-teman saya
berhamburan ke luar setelah menaruh koper di kamar. Mereka langsung mencari
tukang nasi goreng atau angkringan terdekat dari hotel.
Apakah kalian sudah menangkap maksudku?
Reklame
itu ibarat perkataan manis yang mereka keluarkan selama ini. Mereka pasti akan
mengupayakan segala tipu muslihat untuk memikat orang-orang yang bermanfaat
bagi mereka. Segala kelebihan itu akan mereka tampilkan secara sempurna. Supaya mereka yang masih jauh bergegas mendekat. Padahal,
kenyataannya tentu tak sesempurna itu. Perkataan manis tersebut digunakan untuk
menutupi kekurangan dan hati yang busuk.
Jadi, bagaimana cara menghadapinya?
Hadapi
dengan cara yang sama seperti menghadapi restoran yang Pemberi Harapan Palsu (PHP)
itu. Kita tak bisa membuat restoran itu langsung bangkrut atau kena batunya. Sebab
restoran itu terlalu besar. Mereka punya segala cara untuk menarik perhatian
pelanggan. Terutama pelanggan dari kalangan turis yang belum pernah makan di
situ. Namun setidaknya, kita bisa mengingkatkan orang-orang terdekat untuk
tidak makan di restoran tersebut. Agar jangan ada orang terdekat kita yang
terbujuk reklame heboh tentang restoran itu.
Jika
benar-benar terpaksa makan di situ, mintalah menu siap saji berupa nasi putih
dengan telur mata sapi atau mie instan. Menu-menu siap saji itu tak mungkin
sudah dihangatkan berkali-kali. Maka kita pun tak perlu menelan makanan yang
sudah tak segar dan berisiko menimbulkan penyakit.
Kalian
masih bisa saling menjaga satu sama lain. Saling mengingatkan supaya tak ada
lagi yang terluka akibat perbuatan mereka. Biarkan waktu yang akan membuktikan
bahwa niat-niat buruk tersebut akan membuahkan hal yang buruk pula bagi mereka.
Jika benar-benar terpaksa menghadapi mereka, jangan terpengaruh oleh
omongannya. Mintalah bukti atau pertanggungjawaban yang jelas. Supaya mereka
tak punya kesempatan untuk menyerang kalian secara membabi buta. Jangan sampai
emosi kalian terpancing sewaktu menghadapi mereka. Kalian harus seperti kulkas.
Walaupun punggung kulkas selalu panas, isinya pasti dingin.
Hatimu
boleh panas, tetapi kepalamu harus tetap dingin. Sehingga kamu bisa menggunakan
akal budimu untuk berpikir rasional ketika mengatasi mereka.
Yang
terbaik bisa merasa kecewa. Namun yang terbaik tidak akan mengecewakan. Waktu
yang akan membuktikannya kepadamu. Tak apa-apa kalau hari ini kamu kecewa.
Namun jangan lama-lama, ya. Agar kamu lekas menata hatimu sebelum menghadapi
hal-hal besar lainnya.
Jadi,
bagaimana menurutmu? Benarkah seperti itu?
No comments