Semua pekerjaan pasti ada risikonya. Ada yang risikonya
lebih besar, dan ada pula yang lebih kecil. Salah satu yang paling parah tentu
saja risiko kecelakaan kerja yang berakibat fatal. Namun bukan berarti risiko
pekerjaan lainnya tergolong tidak berat. Ada saja risiko-risiko yang dianggap
tak seberapa tetapi kerap membuat mental ciut
dan produktivitas pun menurun.
Salah satu pekerjaan yang dianggap minim risiko adalah freelance writer atau penulis lepas.
Padahal pekerjaan ini juga tak luput dari risiko yang sering bikin gemes,
sedih, kesal, atau sekadar menarik napas dalam-dalam.
Kira-kira apa saja sih risiko pekerjaan freelance writer di Indonesia? Inilah
ulasannya!
Pemrosesan invoice yang selalu lama.
Invoice yang prosesnya super lama sudah jadi
teman akrab bagi para freelancer. Dulu
saya mendapatkan pencairan invoice pada
tanggal 25 setiap bulan. Kemudian mundur menjadi setiap tanggal 5 bulan depan.
Lalu sekarang mundur lagi, invoice harus
dicetak agar berbentuk fisik, diberi meterai dan dikirim ke agency tempat saya bekerja.
Jangan tanya soal waktu pemrosesannya. Pembayaran akan
diproses pada hari Rabu berikutnya setelah kiriman invoice di terima. Jadi, kalau invoice-nya
sampai di kantor saat hari Kamis, berarti kita baru bisa menerima pembayaran
pada hari Rabu minggu depan. Bikin deadline artikel
mepet-mepet. Giliran disodorin invoice,
tunda terus sampai beberapa minggu. Mikir woy.
Bikin content plan tanpa dibayar.
Mungkin ada sebagian freelance
writer yang bertanya-tanya tentang content
plan karena belum penah membuatnya. Sebenarnya content plan bisa diartikan sebagai rencana topik artikel sebelum
kita membuat artikel utuhnya. Biasanya content
plan berisi judul artikel, deskripsi singkat (terdiri dari 2 hingga 3
kalimat), dan sumber referensi yang akan digunakan.
Bikin content plan tidak
dibayar. Namun soal revisi, tak usah ditanya lagi. Tak jarang saya harus
merevisi content plan sampai 2 kali.
Merevisi sesuatu tanpa dibayar, it’s so
wasting time. Kalau mau langsung tepat sasaran, kenapa bukan brand-nya yang membuat content plan untuk freelance writer?
Supaya freelance
writer-nya tak perlu buang-buang waktu membuat revisi content plan berulang kali.
Disuruh mengubah topik artikel yang sudah selesai.
Content plan sudah disetujui, artikel yang sesuai
dengan content plan pun sudah dibuat.
Tiba-tiba brand yang menjadi klien agency meminta freelance writer mengubah topik artikel yang sudah selesai
tersebut. Mengubah topik itu artinya membuat artikel baru. Karena artikel yang
sudah selesai tentu tak bisa direvisi jika ingin topiknya berubah. Kalau sudah
begini, rasanya pasti ingin mencekik leher si Person In Charge (PIC). Sering
kali saya menolak mengubah topik artikel jika artikelnya telah selesai dibuat. Karena
saya tidak mau memperbaiki atau menanggung kesalahan yang tidak saya buat.
Harus menambah jumlah kata pada artikel yang sudah rampung.
Dalam setiap draft artikel
yang harus saya kerjakan, sudah tercantum ketentuan jumlah kata pada artikel
tersebut. Jadi ceritanya saja sudah menyelesaikan artikel dengan jumlah kata
yang tepat, bahkan selalu lebih dari permintaan agency. Lalu tiba-tiba beberapa hari kemudian saya diminta
menambahkan kata-kata pada artikel buatan saya tersebut.
“Mbak Mel, artikel yang ini tolong ditambah 250 kata lagi,
ya.”
Jadi menurut ngana, saya harus menambahkan artikel 500
kata yang sudah selesai dibuat dengan 250 kata secara cuma-cuma?
Rate artikel saya tetap sama. Namun jumlah
kata per artikel yang harus saya selesaikan ternyata bertambah banyak. Kalau
sudah begini, apa lagi yang bisa dilakukan selain pasrah?
Disuruh merevisi artikel buatan orang lain.
Memperbaiki jauh lebih sulit daripada membuat yang baru.
Terutama bila kita diharuskan memperbaiki artikel buatan
orang lain. Agency tempat saya
bekerja menyebut urusan yang satu ini dengan istilah content enrichment. Masih bagus kalau artikel tersebut sudah sesuai
dengan kaidah bahasa yang benar. Bagaimana kalau ternyata tidak?
Itu artinya kita bukan merevisi artikel buatan orang lain,
melainkan harus membuat artikel baru dengan tema yang sama. Ya, memang begitu. Daripada
kita pusing merombak sana-sini dan membuang-buang waktu, alangkah lebih baik
jika kita membuat yang baru. Saya sih lebih senang membuat artikel baru
dibandingkan harus pusing merevisi buatan orang lain yang tata bahasanya kacau
balau.
Tak dapat THR dan tunjangan lainnya? Itu sudah~
Jangan mimpi soal Tunjangan Hari Raya (THR), tunjangan
kesehatan, atau bentuk tunjangan lainya bila sudah memutuskan menjadi freelance writer. Selama saya bekerja di
sejumlah agency besar, saya tidak
pernah menikmati sesuatu yang disebut THR. Padahal menurut Permenaker No.4
Tahun 1994 pasal 3 tentang pengaturan THR, disebutkan bahwa pekerja lepas juga
berhak menerima THR. Tentu saja THR tersebut harus disesuaikan dengan masa
kerja pekerja lepas. Bahkan, pekerja lepas yang sudah bekerja selama 12 bulan
terus menerus berhak mengantongi THR sebesar 1 bulan gaji.
Saya tidak mau ambil pusing soal hal
ini. Mau menuntut agency tempat saya bekerja?
Itu tandanya saya sudah bosan bekerja dan ingin segera didepak dari sana. Sebab masih banyak
freelancer writer yang mengantre
untuk mendapatkan posisi saya saat ini. Saya sudah cukup bersyukur karena ada
salah satu agency yang memberlakukan
sistem insentif bagi freelance writer yang
mengerjakan artikel-artikel untuk satu brand
selama tiga bulan berturut-turut. Insentifnya memang tak besar, nilainya
tergantung dari jumlah artikel yang dikerjakan setiap bulan. Cukup lumayan
untuk menambah total pendapatan bulanan.
Mau banyak uang? bekerjalah seperti kuda!
Menjadi
freelance writer yang banyak uang itu
bukan mitos atau dongeng belaka. Kita bisa mencapai posisi tersebut bila kita
rela bekerja seperti kuda. Salah satu caranya adalah bekerja pada beberapa agency secara bersamaan. Tak jarang pula
kita masih harus berurusan dengan pekerjaan hingga larut malam. Hal seperti ini
adalah konsekuensi pribadi yang bisa kita tentukan sendiri. Bila ingin isi
dompet lebih tebal, kita harus bekerja lebih giat. Karena kita bukanlah pegawai
tetap yang bisa santai uncang-uncang kaki dan tetap mendapatkan besar gaji yang
sama setiap bulan.
Banyak saingan yang banting harga.
Ada lo
penulis yang memasang rate Rp 5.000,-
untuk setiap artikel yang terdiri dari 500 hingga 1.000 kata. Cari rezeki sih
boleh-boleh saja. Namun jangan sampai banting harga hingga akhirnya merusak
harga pasaran, ya. Hal ini membuat banyak agency
berpikir bahwa sebuah karya tulis bisa dihargai sebegitu murahnya.
Akibatnya, freelance writer dengan
kualitas kerja dan ketepatan waktu di atas rata-rata harus banyak bersabar
menghadapi saingan yang banting harga.
Ada harga,
tentu ada kualitas. Semua agency pasti
ingin mendapatkan tulisan berkualitas dengan sisi personal touching, softselling,
potensi viral, dan penggunaan sumber yang kredibel. Semua kelebihan itu
adalah buah pemikiran freelance writer yang
tak mau bekerja asal-asalan. Hargailah dedikasi freelance writer yang tak asal comot informasi dari sumber
referensi.
Hampir (selalu) dikira pengangguran.
Nah,
saya sih sudah tak asing lagi dengan anggapan yang satu ini. Mayoritas
masyarakat masih menganggap bahwa bekerja adalah kegiatan pergi pagi pulang
sore ke kantor, pakai baju rapi dan keren sembari menenteng tas kerja. Demikian
pula halnya dengan tetangga-tetangga saya. Dulu, mereka pasti nyinyir kalau
melihat saya lalu lalang dengan kaos belel dan celana pendek yang itu-itu saja.
Saya sudah
kenyang dianggap pengangguran. Namun, sesekali mata mereka sukar berkedip
sewaktu saya sedang tampil dengan rambut dan pakaian yang rapi. Iya, sesekali
saja saat saya dipanggil untuk briefing di
kantor agency.
“Mau
ke mana, Mel?”
“Ke
kantor, Tante.” (Ngomong sambil kibas rambut dan blazer yang super wangi.)
Orang lain tak punya banyak waktu senggang untuk kita.
Sejujurnya,
poin terakhir inilah yang paling berat bagi saya. Memilih pekerjaan sebagai freelance writer tentu mempengaruhi interaksi
saya dengan para sahabat dan kenalan lain yang saya sayangi.
Mereka
kerja dari pagi sampai sore, saya juga kerja dari pagi sampai sore di rumah. Mereka
ngajak ketemuan pas weekend, saya
lagi menyelesaikan pekerjaan ekstra yang sengaja saya ambil di akhir pekan. Giliran
sayanya sempat bertemu di hari kerja, mereka masih sibuk dengan setumpuk
pekerjaan di kantor. Saya punya waktu senggang dari pagi sampai malam untuk
membalas chat, mereka tak sempat
balas chat karena harus berurusan
dengan pekerjaan. Begitu saya mulai ngajak chat
di malam hari, mereka sudah lelah dan akhirnya ketiduran. Iya, gitu aja
terus sampai lebaran kuda.
Tak
jarang saya merelakan waktu bekerja saya untuk mendengarkan keluh kesah mereka.
Sebab saya tahu bahwa waktu kerja saya jauh lebih fleksibel dibandingkan mereka.
Bahkan saya sering menyelesaikan banyak artikel sembari mendengarkan dan
menanggapi curhatan orang-orang terdekat. Rasa kesepian itu lama-lama jadi
sahabat karib. Saya terbiasa menyediakan waktu untuk orang lain. Meskipun orang
lain lebih sering tak punya waktu senggang untuk saya. Saya tidak menganggap
hal itu sebagai masalah. Karena saya memang bersedia menempatkan diri untuk
selalu menjadi pendengar. Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya.
Udah,
gak usah baper gitu pas baca poin kesepuluh ini, ya. Saya menikmatinya kok.
Menikmati saat-saat duduk diam dan bekerja sendirian di kafe. Menikmati momen
ketika orang-orang yang saya sayangi merasa lebih lega usai mencurahkan isi
hati.
Ulasan
tentang sepuluh risiko pekerjaan freelance
writer ini bukan bentuk kebencian dan pemberontakan yang terlontar dari
dalam diri saya. Bila disuruh mengulang kembali ke masa-masa awal hidup saya,
pasti saya akan tetap memilih pekerjaan ini. Pekerjaan yang saya sukai karena
sudah memberikan banyak pelajaran hidup berharga.
“Liburan
panjang nanti ada rencana apa? Jalan-jalan yuk!”
“Gue
gak libur karena sengaja ambil kerjaan tambahan.”
Oh gitu. Saya baru tau nggak enaknya jadi penulis konten yang berbayar gtu. Apa di surat kontrak ga ada perjanjian yang jelas ttg tgl gajian atau peraturan lain yg ditabda tangani di bwah materai mba?
ReplyDeletePerjanjian di kontrak sih ada, Mbak.
DeleteTapi kalo gajian telat dari jadwal itu udah biasa banget buat penulis lepas :)
Gemes sama Yang pasang harga murah (banget) itu... jadi merusak harga pasaran.Kalau dibilang nganggur sih gpp asal dapat duit hehehe
ReplyDeleteIya banget nih, gan. Karena brand jadi nganggep semua penulis bisa dipatok sama harga super murah. Padahal kita peras otak juga pas buat artikelnya :D
DeleteSaya pernah menajdi penulis freelance
ReplyDeletetapi sering tanpa bayaran
Mudah-mudahan nanti bisa jadi penulis freelance yang dibayar, Gan :)
DeleteYg nomor 1 tuh miris. Kitanya udah nulis capek2 semaksimal mungkin, eh invoice gak turun2. Sedih
ReplyDeleteIya, biasanya kita cuma bisa sabar nungguin ya ...
DeleteNice to be visiting your blog again, it has been months for me. Well this article that i've been waited for so long. I need this article to complete my assignment in the college, and it has same topic with your article. Thanks, great share. freelance web designer london
ReplyDelete