"Andi kamu belom siap-siap
juga? Nanti telat lho…”
“Iya, Ma. Sebentar lagi, nih.”
Sekolah. Butuh 7 huruf saja
untuk membuat sebagian besar pelajar Indonesia jadi mager setengah mati. Murid yang rajin saja bisa mager, apalagi yang malas. Ada banyak hal
yang bisa menyebabkan malas sekolah. Salah satu yang paling sering jadi
penghambat adalah ketidakpahaman saat belajar di kelas.
Secara garis besar, hampir
semua sekolah di Indonesia menyiapkan sistem belajar yang hampir sama. Masuk
tepat waktu di pagi hari dan resmi keluar kelas di sore hari. Itulah sebabnya
pendidikan di Indonesia tidak bisa jadi patokan kecerdasan dan masih belum
dapat menyaingi kualitas pendidikan di sejumlah negara lain. Kira-kira apa ya
penyebabnya?
Semua Mata Pelajaran Wajib Dikuasai dengan Baik
Sumber :
Instagram
Apa pun pelajarannya, kamu
harus berusaha dengan baik. Kenyataan bahwa si dia yang selalu diakui
keunggulannya adalah dia yang juara pada hampir semua mata pelajaran. Dia yang
menguasai hampir semua pelajaran dengan baik akan dianggap sebagai murid yang
pandai dan patut ditiru.
Padahal sejatinya setiap
orang punya minat dan bakat yang istimewa. Toh kalau pun ada murid yang semua nilainya jeblok, mungkin saja hatinya memang tidak ada di
situ. Tidak ada di kelas yang membosankan itu. Ada murid yang manis dan penurut,
dan ada murid yang memang punya cikal bakal jiwa pemberontak. Jadi tidak
mengherankan jika jiwa-jiwa pemberontak ini sering tak kuasa untuk konsentrasi
belajar di kelas.
Tidak Ada Pilihan untuk Minat Tertentu, Kecuali pada Kegiatan Ekstrakurikuler
Sumber :
Instagram
Para murid biasanya bebas
memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai minat dan bakatnya. Tetapi tidak
demikian halnya dengan kegiatan belajar mengajar di kelas. Semua mata pelajaran
akan diberikan dalam porsi yang sama. Matematika dan pelajaran bahasa biasanya
mendapat porsi yang paling besar. Tidak ada kesempatan untuk mendapatkan
tambahan ilmu yang diminati secara lebih detail lagi.
Dunia kan tidak melulu soal
penerapan ilmu matematika dan bahasa. Ada banyak hal indah lainnya yang bisa
dikenal sejak usia sekolah. Bukankah memuaskan rasa ingin tahu anak terhadap
minat tertentu akan membantu pengembangan kreativitasnya?
Ujian Hanya Menjadi Tes Daya Ingat, Bukan Sarana Pemacu Kreativitas
Sumber :
Instagram
Masih ingat kapan terakhir
kali kamu mati-matian menghafalkan pelajaran?
Bagi para alumni yang sudah
lulus sekolah bertahun-tahun yang lalu, hal ini hanya jadi kenangan absurd yang
tentu tak ingin diulang kembali. Hari-hari ujian dipenuhi oleh kesibukan mengisi
otak hingga penuh. Ya, mengisi otak dengan banyak teori, rumus-rumus serta
hafalan pelajaran.
Isi otak tersebut harus
dipertahankan hingga lembar ujian terisi penuh dan sudah diberikan kepada
pengawas ujian. Lalu, wusss… ingatan akan semua pelajaran tersebut seolah sirna
begitu kamu melangkah keluar dari ruang ujian. Ironis. Tetapi memang itulah
kenyataannya. Ujian atau ulangan di sekolah sekadar jadi tes daya ingat saja. Sementara
urusan kreativitas justru kian tumpul karena otak lebih sering digunakan untuk
menjejalkan hafalan.
Porsi Pelajaran Keterampilan yang Sangat Sedikit
Sumber :
MemeCenter.com
Mayoritas pelajaran yang
diberikan di sekolah adalah ilmu-ilmu teoritis. Ilmu-ilmu tentang bagaimana
rumus sinus cosinus harus dipecahkan, mengenai tata cara pilkada yang patut
dihafalkan atau perihal cara menulis surat resmi dengan bahasa baku. Tak banyak
penyelenggara pendidikan yang ingat bahwa hidup yang sesungguhnya di dunia
nyata justru tidak terlalu butuh ilmu-ilmu teoritis.
Bukan tidak dibutuhkan,
melainkan tidak terlalu dibutuhkan. Alangkah lebih baik jika ilmu-ilmu teoritis
digunakan untuk mendukung keterampilan sesungguhnya. Keterampilan mengenai cara
berkomunikasi yang sopan, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga hingga
cara berbisnis yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Tidak ada lagi soal-soal
tentang “temukan nilai X” atau “buktikan kebenaran tentang persamaan di bawah
ini” dalam kehidupan nyata. Hal ini tentu patut dipahami oleh generasi muda
sejak duduk di bangku sekolah. Agar nantinya murid-murid tidak terlalu terkejut
kala harus memasuki kehidupan nyata yang sesungguhnya.
Betapa senangnya bila punya
murid yang prinsip hidupnya “tidak suka bukan berarti tidak bisa”. Sebab murid
seperti ini biasanya akan bertekad menyelesaikan pendidikan dengan baik biarpun
ia tidak menyukainya. Namun murid dengan karakter ini jelas langka bak satwa
endemik yang hampir punah. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban para
penyelenggara pendidikan di Indonesia untuk memperbaiki sistem pengajaran di
sekolah. Jelas tidak ada yang lebih baik selain senantiasa memantaskan diri.
it's true mbak, dan mari kembangkan pedidikan alternatif ala kita :D
ReplyDeleteYang penting pendidikannya bisa diterima dengan baik sama anak-anak ya, Mbak. Jadi anak-anak gak sekadar membeo atau ngikutin buku cetak aja deh ;)
Delete