Seorang
ibu mempertaruhkan nyawa demi kelahiran buah hatinya. Sehingga tak mengherankan
bila rasa sayangnya begitu besar. Terutama jika kehadiran buah hati tersebut
sangat didambakan. Setelah berbagi tubuh dan nutrisi selama 9 bulan, seorang
ibu bersiap menjadi jalan bagi manusia baru yang hendak melihat dunia.
Ikatan
antara ibu dan anak itu tak kasat mata tetapi nyata. Ibu mana yang tak bahagia melihat anaknya tumbuh sehat, cerdas,
dan berbudi luhur. Meskipun kini semakin banyak ibu yang tega menelantarkan
bahkan membuang anaknya dengan alasan kesulitan ekonomi atau kelahiran yang tak
diinginkan. Bisa karena sudah memiliki banyak anak atau hubungan di luar nikah.
Data
UNICEF mencatat sebanyak 400 juta anak tinggal di jalanan karena terabaikan
atau tidak memiliki keluarga. Miris. Ada calon ibu yang sangat menantikan
kehadiran anak. Mereka berjuang untuk memiliki buah hati dengan berbagai cara. Tetapi
di sisi lain, tak sedikit ibu kandung yang tega mengabaikan atau membuang darah
dagingnya.
Jadi, masihkah kasih ibu kandung selalu menjadi yang nomor satu?
Menjadi
ibu tak berarti harus selalu dengan cara melahirkan. Pilihan untuk mengadopsi
atau menganggap anak orang lain seperti anak sendiri merupakan keputusan mulia.
Berbagi kasih sayang dan berkat tentu tak pernah salah. Karena cinta tak pernah
keliru memilih jalannya.
Ada
anggapan yang menyatakan bahwa kasih sayang seorang ibu non biologis tak akan
pernah bisa menyamai kasih sayang ibu kandung. Barangkali anggapan tersebut
berasal dari ungkapan “darah lebih kental daripada air”. Anggapan yang semakin
kuat sewaktu menonton sinetron tentang kedurhakaan anak angkat terhadap ibu
yang merawatnya. Atau ibu angkat yang membesarkan anak untuk dijadikan mesin penghasil
uang.
The bond between mother and her child is one defined by love.
Defined by love, not by blood.
Di
luar sana, terlepas dari jalan cerita sinetron yang terkesan kejam, pasti ada
kisah-kisah menyentuh tentang seorang ibu dan anak yang bukan darah dagingnya. Seorang
ibu yang mampu memberi perasaan bahagia dan nyaman kepada “orang asing” yang
tak berasal dari tubuhnya. Mungkin itulah yang disebut unconditional love. Sebuah anugerah besar yang tak bisa diungkapkan
dengan kata-kata.
Batasan-batasan karena tak sedarah dan berbeda latar
belakang itu semakin kabur dan tertutupi oleh kasih sayang. Tak perlu
berandai-andai dan menguji kedekatan hati. Jika ternyata hal-hal seperti itu cuma
menyiksa diri. Karena Dia sudah menganugerahkan “ikatan” itu kepada kita, maka
kita hanya perlu menjalani sembari menjaganya dengan baik.
Apakah ikatan itu benar-benar ada? Atau hanya aku saja yang terlalu perasa?
Aku tidak tahu jawabannya. Hanya ada satu hal yang
pasti kuketahui. Bahwa ikatan itu membuat aku tak bisa jauh darimu. Ikatan yang
membuatku sangat tersiksa ketika kamu berusaha “melepaskannya”.
Catatan ini kutulis di tengah malam. Ketika hanya ada
sepi dan ruangan gelap yang menemaniku. Kudapati rasa nyaman itu saat aku
sedang sendirian. Keheningan di sepertiga malam yang membawaku pada perenungan
panjang.
Seiring dengan berjalannya waktu, kedekatan itu tumbuh
di hati kita. Ucapanmu memang benar. Aku bagaikan ikan yang kehabisan air kalau
tak berhasil menemukanmu sehari saja. Aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku
saja. Aku tak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama. Tetapi aku hanya ingin
kamu tahu. Bahwa kamu menempati posisi istimewa di relung hatiku.
Aku memang tak berasal dari rahimmu. Namun aku
tahu kalau rahim bukanlah satu-satunya tolak ukur untuk menunjukkan kekuatan
cinta. Dia Yang Maha Tahu pasti memahami isi hatiku. Karena Dialah yang
menentukan perjalanan hidup kita.
Dalam keheningan aku sering kali berpikir. Bagaimana
jadinya jika aku yang harus pergi lebih dahulu meninggalkanmu. Pergi sebelum
sempat mengucapkan selamat tinggal kepadamu dan mereka yang sangat kukasihi. Akankah
aku tetap hidup di hatimu selamanya?
Seperti dia yang pernah kamu tangisi selama 2 hari. Dia,
kebanggaanmu, yang selama beberapa belas tahun ini tetap abadi di hatimu dan
benakmu.
Kamu yang begitu hebat pasti bisa menjalani hari-hari
dengan baik tanpa aku. Tersenyum menatap masa depan bersama orang-orang baik
yang menyertaimu. Sementara aku justru terlalu lemah untuk meneruskan
perjalanan hidup tanpamu. Karena di dalam cintamu, kutemukan bahagia.
Semoga dia selalu mendekap doa-doa yang kuucapkan
tentang kamu. Mudah-mudahan Dia tak bosan dengan segala celotehanku mengenai
kamu. Bila selama ini aku yang selalu mengucapkan “aku akan selalu ada untukmu”,
kini kamu harus tahu yang sesungguhnya. Kalau sebenarnya justru aku yang ingin
senantiasa berada di sisimu. Berharap kamu tak pernah jemu menghadapi aku yang
penuh kekurangan ini.
Terima kasih untuk semua cinta dan kesabaranmu, Bu.
Mohon maafkan aku yang sangat amat jauh dari kata sempurna. Jangan berhenti
mencintaiku meski mentari berhenti bersinar.
Sedihmu, sedihku.
Sedihku,
biarlah menjadi tanggunganku sendiri.
No comments